Dalam tambuk kekuasaan atau pemerintahan, Arya Panggiri, Pangeran Benawa dan Panembahan Senopati Kesultanan Pajang termasuk salah satu Kesultanan yang berumur pendek, hanya berdiri selama 41 tahun saja (1546-1587).
Selama 41 tahun, Kesultanan hanya diperintah oleh 3 Sultan. Yaitu Jaka Tingkir (Hadiwijaya) yang bertahta dari Tahun 1546 hingga 1582, Arya Panggiri yang bertahta dari Tahun 1482 hingga 1586 dan Pangeran Benowo yang bertahta dari 1586 hingga 1587.
Mataram yang pada mulanya hanya sebuah Kadipaten dibawah Kesultanan Pajang akhirnya melakukan pemberontakan setelah Raden Pabelan salah seorang kemenakan Senopati dihukum mati setelah kedapatan berbuat mesum dengan putri Sultan Hadiwijaya.
Dikisahkan Tumenggung Mayang, Adik Ipar Sutawijaya, mempunyai seorang anak bernama Pangeran Pabelan yang berparas tampan. Sedangkan Sultan Hadiwijaya mempunyai seorang putri Sekar Kedaton yang cantik jelita.
Sebagai seorang Sultan tentu Jaka Tingkir tidak kesulitan dalam menjaga putri kesayanganya itu, putrinya ditempatkan dalam tempat khusus yang dijaga puluhan prajurit pilih tanding, tempat khusus untuk Putri Raja yang dikenal dengan nama Kaputren. Tapi penjagaan yang ketat itu rupanya kebobolan juga.
Raden Pabelan sebenarnya merupakan kekasih dari Sekar Kedaton, Oleh karena merasa tak tahan ingin menemui Sekar kedaton, Raden Pabelan rupanya nekad menerobos Kaputren, dikaputren keduanya dikisahkan bercumbu sebagimana layaknya dua insan yang dimabuk cinta.
Usaha nekad Raden Pabelan yang menemui Sekar Kedaton di lingkungan dalam Kaputren tempatnya para putri Raja ini rupanya membawa malapetaka baginya, ia ditangkap Prajurit Istana, kemudian diseret ke muka Raja.
Sultan Hadiwijaya amat marah mendapatkan laporan mengenai kejadian di keputren itu, apalagi ketika ia mendengar bahwa lolosnya Raden Pabelan ke Kaputren untuk menemui Putrinya itu diduga karena bantuan Tumenggung Mayang.
Akibat amarah yang memuncak karena putri kesayanganya telah dinodai oleh seorang pemuda dengan cara yang tidak semestinya, maka Raden Pabelan dijatuhi oleh Sultan Hadiwijaya dengan hukuman Mati.
Detik-detik dieksekusi matinya Raden Pabelan ini membuat Ibunda Raden Pabelan gelisah, iapun meminta bantuan pada kakanya Sutawijaya yang kala itu sebagai Adipati Mataram agar membujuk Sultan untuk membatalkan hukuman mati Pada Raden Pabelan.
Tapi, usaha Ibunda Raden Pabelan itu rupanya sia-sia, sebab permintaan Adipati Mataram tidak digubris dan hukuman mati tetap dijalankan. Bahkan hukuman yang dijatuhkan Jaka Tingkir bertambah berlipat, sebab selain menghukum mati Raden Pabelan ia juga menghukum Tumenggung Mayang.
Tumenggung Mayang dilucuti jabatannya, dirampas kekayaannya, serta direncanakan akan dibuang bersama keluarganya ke Semarang atas kesalahan yang dituduhkan kepadanya.
Bila Tumenggung Mayang menerima hukuman tersebut, maka tidak demikian dengan Sutawijaya, sebagai kakak Ipar ia tidak terima saudranya direndahkan oleh Sultan Pajang.
Maka rencana pembebasan Tumenggung Mayang pun kemudian di tetapkan.
Ketika tentara Pajang mengantar Tumenggung Mayang ke tempat pembuangan, ditengah jalan mereka dicegat oleh tentara Mataram. Setelah adu golok yang terbilang sengit, Tentara Mataram kemudian berhasil membebaskan Tumenggung Mayang. Sang Tumenggung kemudian dibawa ke Mataram.
Peristiwa pembebasan Tumenggung Mayang oleh Mataram ini membuat Murka Pajang. Sultan Hadiwijaya beranggapan bahwa hal tersebut merupakan pengumuman pemberontakan.
Pada tahun 1582 dengan 10.000 prajurit terlatihnya Pajang menyerang Mataram.
Mataram sendiri hanya memiliki 1000 prajurit terlatih, sementara sisa prajurit lainnya diisi oleh para petani yang tak terlatih soal perang.
Tapi bersamaan dengan itu, rupanya alam berpihak pada Mataram, Gunung Merapi meletus. Abu Vulkanik dari letusan Merapi kearah tenggara menghalangi jarak pandang tentara Pajang.
Sementara di medan Perang Prajurit Mataram yang jumlahnya sedikit dengan mengkuti debu vulkanik Merapi bergerak dengan efektif, hingga mampu membuat gajah yang ditunggangi Sultan Hadiwijaya mengamuk dan melemparkan Sultan ke tanah.
Pasukan Mataram yang mengetahui lawannya tercerai berai, terus melakukan serangan-serangan mematikan sehingga membuat repot barisan pasukan Pajang.
Menghindari kekalahan telak, Jaka Tingkir akhirnya menarik mundur sisa-sisa pasukannya meninggalkan mataram. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat, namun tak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat bahwa ajalnya segera tiba.
Hadiwijaya melanjutkan perjalaan pulang, akan tetapi ditengah perjalanan ia terjatuh dari punggung Gajah tungganganya sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampainya di Pajang sakit Jaka Tingkir semakin parah. Pada tahun 1582 Jaka Tingkir akhirnya wafat.
Selepas Jaka Tingkir wafat, terjadi kegoncangan di Pajang, Arya Panggiri selaku menantu dari putri pertama Sultan Hadiwijaya yang sebelumnya menjabat sebagai Adipati Demak menduduki tahta Pajang, walaupun waktu itu masih ada Putra Mahkota yaitu Pangeran Benowo.
Arya Panggiri adalah anak Raden Mukmin, Sultan Demak IV yang dahulu dibunuh oleh Arya Penangsang, sehingga dalam diri Arya Panggiri mengalir darah raja-raja Demak. Arya Panggiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya karena ia menikahi Ratu Pembayun, anak tertua Hadiwijaya.
Nasib buruk yang menimpa Raden Mukmin dan Istrinya membuat Arya Panggiri remaja terlantar, oleh karena itu Ratu Kalinyamat yang tak lain merupakan bibinya membawanya ke Jepara untuk di asuh.
Selepas terbunuhnya Raden Mukmin dan naik tahtanya Arya Penangsang sebagai Sultan Demak ke V. Ratu Kalinyamat yang tak terima kakaknya dibunuh bersekutu dengan Hadiwijaya yang kala itu menjabat sebagai Adipati Pajang. Singkat kisah, persekutuan keduanya berhasil membunuh Arya Penangsang.
Wafatnya Arya Penangsang menandai berakhirnya kesultanan Demak, karena meskipun Ratu Kalinyamat mendorong Hadiwijaya agar bersedia menjadi Sultan Demak selanjutnya, Hadiwijaya menolaknya, ia lebih memilih mendirikan Kesultanan baru, yaitu Kesultanan Pajang yang berkedudukan di bekas Kadipaten Pajang.
Selepas berdirinya kesultanan Pajang, daerah-daerah bekas kesultanan Demak menjadi bawahan Pajang.
Berdirinya Pajang sebagai penerus Kesultanan Demak disetujui oleh keluarga besar Raden Mukmin, sehingga peralihan kekuasaan dari Demak ke Pajang tidak menimbulkan goncangan politik yang berarti.
Guna mempererat hubungan kekerabatan dengan Hadiwijaya, Ratu Kalinyamat yang kala itu menjabat sebagai Penguasa Jepara menikahkan Arya Panggiri dengan Putri Hadiwijaya. Maka mulai setelah itu resmilah Arya Panggiri menjadi menantu Sultan Pajang pertama.
Arya Panggiri menjabat sebagai Sultan Pajang selama 5 Tahun, yaitu dari Tahun 1582 hingga 1586, ia naik tahta selepas wafatnya Hadiwijaya dan menyingkirkan Pangeran Benowo dari tahta dengan bantuan Panembahan Kudus.
Kala itu tidak ada satupun pejabat istana di Pajang yang mampu menghalangi pengaruh Panembahan Kudus, sehingga para kerabat kerajaan menerima Arya Panggiri sebagai Sultan Pajang nenggantikan Sultan Hadiwijaya.
Sebelum menjadi Sultan Pajang, Arya Panggiri berkedudukan sebagai Bupati/Adipati Demak. Bagi Arya Panggiri tahta Pajang adalah haknya, karena menurutnya selepas kematian Arya Penangsang ialah yang berhak atas tahta Kesultanan Demak.
Meskipun Kesultanan Demak telah dialihkan menjadi Kesultanan Pajang, ia tetap merasa berhak atas tahta. Pemikiran Arya Panggiri yang semacam itu didukung oleh Panembahan Kudus, putra kedua dari Sunan Kudus.
Pada Tahun 1582 Masehi, Sultan Hadiwijaya meninggal selepas gagal menghukum Kadipaten Mataram yang memberontak, kegagalan Pajang menghukum Kadipaten bawahannya jelas merupakan aib bagi kewibawaan Pajang, oleh karena itu Arya Panggiri di masa pemerintahannya berniat untuk menghukum Mataram.
Tetapi niat Arya Panggiri untuk memerangi Mataram ditentang oleh kebanyakan para pejabat Kesultanan Pajang, karena sebelum meninggal Sultan Hadiwijaya berwasiat agar Pajang jangan lagi memerangi Mataram.
Meskipun ditentang oleh banyak pejabat Kesultanan, Arya Panggiri tetap bersikukuh untuk menjalankan niatnya, oleh karena itu para Pejabat Istana yang dianggap menentang keputusannya diberhentikan secara tidak hormat dan diisi oleh orang-orang yang diambil dari Demak.
Banyaknya orang Demak yang menjadi pejabat tinggi pemerintahan menimbulkan kecemburuan bagi orang Pajang asli, mereka merasa Pajang seluruhnya telah dikuasai oleh orang Demak, sehingga semangat patriotisme orang-orang Pajang menjadi luntur.
Benar saja, ketika Arya Panggiri melakukan penyerbuan ke Mataram sebagaian orang Pajang tidak bersemangat berperang bahkan kebanyakan diantara mereka membangkang. Mereka memilih melarikan diri keluar Kota ketimbang mematuhi Rajanya yang dianggap menganak tirikan orang Pajang.
Kegagalan serbuan Pajang ke Mataram yang disebabkan penghianatan orang-orang Pajang menyebabkan Arya Panggiri murka. Ia mulai hilang kendali dan bertindak sewenang-wenang terhadap bekas Pejabat Keraton yang membangkang, Arya Panggiri juga bahkan menghukum rakyat pajang yang tak mematuhi perintahnya dengan kejam.
Penderitaan orang-orang Pajang yang diluar batas kewajaran akhirnya membawa mereka untuk pergi dari Pajang dan mengadukan nasib mereka kepada Pangeran Benowo. Kala itu mantan Putra Mahkota Kesultanan Pajang tersebut menjabat sebagai Adipati Jipang.
Kedatangan rakyat Pajang secara besar-besaran untuk meminta perlindungan mengagetkan Pangeran Benowo Sang Pangeran lebih kaget lagi ketika mendengar pengaduan rakyat Pajang tentang penindasan dan pembunuhan yang mereka alami.
Pengaduan tersebut membuat Pangeran Benowo murka, ia akhirnya memutuskan untuk memberontak, ia juga berjanji akan merebut kembali tahta yang diduduki Arya Panggiri.
Demi memuluskan usahanya, Pangeran Benowo menyurati Adipati Mataram (Sutawijaya) yang kala itu memang sedang melakukan pemberontakan pada Kesultanan Pajang. Keduanya mengikat perjanjian untuk sama-sama menggulingkan kekuasaan Arya Panggiri.
Persekutuan Pangeran Benowo yang didukung kebanyakan rakyat Pajang dengan Mataram mampu mengumpulkan tentara yang banyak, sehingga pada tahun 1586 Pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Sutawijaya ditambah Pasukan Jipang dan orang-orang Pajang yang dipimpin Pangeran Benowo menyerbu Pajang. Pada tahun itu juga, yaitu pada tahun 1586 Pajang takluk, sementara Arya Panggiri sendiri dikisahkan wafat dalam tragedi itu.
(Versi lain yang lebih kuat Arya Panggiri diampuni oleh Panembahan Senopati, dikembalikan ke Demak dan wafat di Banten).
Selepas terbunuhnya Arya Panggiri (1586) Pangeran Benowo dinobatkan menjadi Sultan Pajang ke tiga, sementara disisi lain, Mataram diberikan hak untuk mendirikan Kesultanan yang merdeka dari Pajang.
Ketika memutuskan bersekutu dengan Mataram untuk menggulingkan Arya Panggiri, Pangeran Benowo sejatinya tidak mengharapkan tahta, ia hanya ingin rakyat Pajang terbebas dari ksemena-menaan. Oleh karena itu selepas Pajang ditaklukan ia menawarkan Sutawijaya untuk menjadi Raja Pajang, tapi Sutawijaya menolaknya.
Bukan itu saja, bahkan ketika Pangeran Benowo ingin menjadikan Pajang sebagai Kadipatian bawahan Mataram, Sutawijaya juga menolaknya, sehingga mau tidak mau Pangeran Benowo akhirnya terpaksa memikul tahta, yaitu menjadi Sultan Pajang selanjutnya.
Pergolakan batin Pangeran Benowo yang tidak menyukai tahta akhirnya pecah juga selepas genap satu tahun memerintah, Pangeran Benowo melepaskan tahtanya begitu saja, dan menyerahkan Pajang pada Mataram.
Pangeran Benowo lebih memilih menjadi seorang Sufi. Dalam catatan beberapa babad, selepas Pangeran Benowo menghapuskan Kesultanan Pajang ia berkelana ke arah barat bersama Ki Ageng Cempaluk, Kyai Wiro dan dua lainnya tinggal di desa Pangerit (Pemalang) hingga wafatnya.(*)
_______________
Prahara di bumi Pajang