Ki Sodewo terlahir di wilayah Madiun pada tahun 1810, bernama Bagus Singlon. Putera Pangeran Diponegoro dengan R. Ayu Citrowati (dari Madiun) ini pada masa kecilnya dititipkan pada seorang kyai bernama Ki Tembi di Madiun. Hal ini untuk menghindari penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap anak turun Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan pada awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah Madiun atas pesan almarhum nenek buyutnya yaitu Ratu Ageng untuk selalu menjalin hubungan tali silaturahim.
Di sanalah Pangeran Diponegoro menikah dengan Raden Ayu Citrowati. Belum sempat diperkenalkan dengan keluarga di Jogja, Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun setelah dia melahirkan putera Pangeran Diponegoro.
Bayi tersebut kemudian dibawa oleh sahabat Pangeran Diponegoro yang bernama Tembi menyusul ke tempat Pangeran Diponegoro bertapa di gua Cerme sekitar Bantul. Menurut Ki Tembi bayi tersebut telah diberi nama Alip.
Pada saat itu tidak mungkin Pangeran Diponegoro membawa bayi tersebut pulang ke Tegalrejo karena tidak ada pengasuh di sana karena isteri tertuanya juga tengah mengasuh bayi, begitu juga dengan isteri ketiganya. Sedangakn isteri keduanya yang dari trah ningrat memiliki tabiat yang kurang berkenan di hati Pengeran Diponegoro dan lebih banyak tinggal di istana.
Atas permintaan Pangeran Diponegoro anak tersebut dititipkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan dibesarkan. Agar tidak diketahui oleh siapa-siapa Ki Tembi disuruh memberi nama singlon. Singlon artinya samaran atau sembunyi (hiden).
Bayi yang baru beberapa minggu lahir dan ditinggal mati oleh ibunya ini perlu disembuyikan karena Pangeran Diponegoro mempunyai firasat bahwa anak tersebut kelak akan menjadi musuh besar Belanda, maka perlu disembuyikan.
Perintah kepada Ki Tembi adalah : ”Jenengono singlon ben ora konangan Londo (berilah nama samaran agar tidak ketahuan Belanda)” sehingga dia disebut Raden Mas Singlon.
Jadi nama Singlon sendiri sebenarnya bukan nama resmi, tetapi nama panggilan. Bisa jadi ini karena kesalahpahaman Ki Tembi ketika diberi perintah oleh Pangeran Diponegoro agar memberi nama singlon yang maksudnya adalah nama samaran tetapi singlon malah dijadikan nama panggilan sehingga jadilah nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon.
Ketika berumur 15 tahun pada tahun 1825 setelah mulai mengenal asal-usul dan jati dirinya, Bagus Singlon mencari ayahnya. Bersama dengan Ki Tembi, Bagus Singlon menuju Tegal Rejo, Goa Selarong dan route perjuangan Diponegoro lainnya.
Sambil menunggu saat perjumpaan dengan ayahandanya, Bagus Singlon tinggal bersama Kyai Gothak di daerah Panjatan Kulon Progo. Bagus Singlon rajin menempa ilmu kanuragan dari Kyai Gothak maupun para guru lain. Bahkan Bagus Singlon belajar ilmu Pancasona sampai ke daerah Bagelen.
Setelah itu, Bagus Singlon bertapa di Gunung Giri atau Giripeni. Dia bermimpi apabila akan mencari ayahnya harus pergi ke Dekso. Benar. Di Dekso Bagus Singlon bertemu Pangeran Diponeogoro, tapi tidak langsung diakui sebagai anak. Ia baru boleh mengaku anak Diponegoro jika mampu bersemedi di atas pohon pisang raja.
Ternyata, kesaktian Singlon mampu memenuhi permintaan ramandanya itu. Setelah itu, Pangeran Diponegoro pun mengakui anaknya sekaligus memberi nama baru Ki Sodewo. Nama itu berasal dari kata Laksono Dewo (bagaikan dewa yang maha sakti) karena kesaktian dan kehebatannya dalam bertempur.
Sejak itu, Bagus Singlon ikut menjadi panglima dalam Perang Jawa yang mengemparkan pemerintah Belanda. Ki Sodewo lalu membantu pertempuran bersama para pengikut Diponegoro. Salah satu bukti kedidayaan Ki Sodewo adalah kemampuannya membunuh Jendral Van De Cohlir, salah satu jendral andalan Jendral Van De Kock, panglima perang Hindia Belanda.
Ki Sodewo membangun persaudaraan dengan tokoh-tokoh seperti Kyai Gothak dan Kyai Josuto untuk mendapatkan bala tentara. Sebuah benteng pertahanan dibangun di wilayah dusun Bosol. Benteng tersebut terbuat dari pohon bambu ori yang ditanam di sepanjang sungai serang di wilayah dusun Bosol. Wilayah tersebut lalu terkenal dengan Jeron Dabag (dalam dabag atau benteng).
Bersama pengikutnya yang disebut Laskar Sodewo beliau melakukan perlawanan secara gerilya melawan Belanda.
Rute gerilya yang pernah dilewati Ki Sodewo antara lain Panjatan, Milir, Beji, Sentolo, Pengasih, Brosot, Lendah, Nanggulan, Kalibawang, Bagelen dan Wates.
Bagi rakyat Kulon progo pada masa itu Ki Sodewo adalah pahlawan, namun Belanda melakukan propaganda bahwa Ki Sodewo adalah pemimpin gerombolan perampok. Salah satunya tercatat dalam sejarah kabupaten Purworejo bahwa Ki Sodewo adalah sekutu penjahat Bagelen yang bernama Amat Sleman pada tahun 1838 yang merupakan musuh dari Bupati Cakranegoro yang pro Belanda.
Menurut cerita turun-temurun keluarga trah Ki Sodewo maupun buku dongeng rakyat Kulon Progo, kesaktian ilmu ‘pancasona bumi’ Ki Sodewo mampu membuatnya hidup kembali meskipun terbunuh selama raganya masih menyentuh bumi.
Perjuangan Ki Sodewo berakhir ketika dikhianati, yaitu ketika rahasia kesaktiannya dibocorkan oleh adik seperguruan di Bagelen Ki Wrekso Sosrobahu karena khawatir akan kesaktian Ki Sodewo.
Kepala Ki Sodewo di penggal dan dibawa ke Gunung Songgo yang merupakan petilasan tempat disangganya kepala Ki Sodewo dengan bambu. Belanda sengaja memisahkan kepala dari makam tubuhnya karena menurut cerita apabila kepala dan tubuh Ki Sodewo masih menyatu Belanda khawatir Ki Sodewo bisa hidup kembali karena kesaktiannya yang luar biasa.
Sedangkan tubuhnya di hanyutkan di sungai Serang. Sehari kemudian tubuhnya di temukan oleh seorang pedagang dan di makamkan di sebelah barat pasar Wates.
Kini kepala dan jasad tubuh Ki Sodewo telah disatukan dan dimakamkan di dekat Pemakaman Umum di Sideman, Wates Kulon Progo.
Tubuhnya menyatu dalam kedamaian dengan bumi yang dibelanya sampai mati. Tubuhnya menyatu dengan bumi menoreh, sebuah tempat di mana ayahnya pernah dilantik sebagai seorang Sultan oleh pengikutnya. Tubuhnya larut dan di bumi para pahlawan di Bumi Menoreh, Kulon Progo.
Dikisahkan pada saat Kota Wates hendak dibangun, makam jasad Ki Sadewo di barat pasar sempat dipindahkan. Pada saat hendak dipindahkan ke Sideman terdapat kendala ketika tidak seorangpun mampu memindahkan makam tersebut.
Sehingga dicarilah keturunan Ki Sodewo untuk dimintai tolong memindahkan makam.
Akhirnya salah satu keturunan Ki Sodewo yang bernama Resosemito mampu memindahkannya ke makam Sideman.
(Seorang teman dari abdi dalem Kraton Ngayogyakarto baru-baru ini bercerita berziarah ke makam Ki Sodewo di Sideman dan melihat cahaya bersinar terang dia atas makam)
Setelah peristiwa itu semua trah Raden Mas Singlon memang terpaksa harus sesinglon. Berpuluh tahun harus disembunyikan dalam kehidupan yang tersamar. Siasat ini, diambil demi kebaikan anak-cucu yang mesti selamat dari kejaran Penguasa Belanda.
Terutama anak turunnya Ki Sodewo di Kulon Progo, masa persembunyiannya dilakakukan sepanjang hampir 200 tahun lamanya. Sehingga, dengan langkah yang tidak mudah, mereka mencari jejak leluhurnya yang hilang.
Pada 2007, Ki Roni Sodewo mendirikan Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro (IKPD) yang bertujuan untuk menyatukan ‘tulang-tulang yang terpisah’ dari wangsa Sang Pangeran dan putranya Bagus Singlon.
Berbeda dengan keturunan Sang Pangeran yang berada di Makassar dan Ambon yang leluasa menggunakan gelar kepangeranan leluhur, di Jawa (khususnta Kulon Progo) keturunannya dikejar-kejar dan dihabisi - mirip politik pembasmian pelaku G30S.
Tak ada lagi keluarga keraton di Jigja dan Jawa Tengah bagian selatan yang berani menggunakan namanya Diponegoro karena dianggap membawa sial bagi mereka. Sampai demikian perihnya kehidupan keturunan Diponegoro pada saat itu.(*)
_____________________
Sumber :
Subhan Mustaghfirin
Perjuangan Ki Sadewo - Bagus Singlon