Ketika pasukan Sunan Kuning (Mas Garendi) yang dipimpin Kapitan Sepanjang dari arah Salatiga dan Boyolali berhasil menjebol benteng dan menguasai Kertasura pada Juni 1742, Pakubuwana II dievakuasi oleh kapten Van Hohendorf (VOC) dan melarikan diri ke arah timur menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan sampai Ponorogo. Peristiwa ditandai dengan Candrosengkolo yang berbunyi "Pandito Enem Angoyog Jagad" (Raja yang telah kehilangan keratonnya).
Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, Pakubuwono II beristirahat di suatu tempat dimana beliau diberi Badeg (air ketan) oleh warga sekitar, sehingga tempat tersebut dinamakan Badegan atau sekarang menjadi Kecamatan Badegan arah barat Alun-Alun Ponorogo berbatasan dengan Kecamatan Purwantoro Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Setelah melepas lelah di Badegan, Pakubuwono II melanjutkan perjalanan ke arah timur dan menemukan sebuah dukuh dengan rumah-rumah yang sudah tertata rapi dengan sebuah alun-alun kecil. Pakubuwono II kemudian singgah kesebuah rumah yang besar yang ternyata milik Raden Jayengrono.
Setelah bertanya kepada Raden Jayengrono, Pakubuwono ll akhirnya bercerita bagaimana beliau sampai di wilayah Ponorogo. Setelah kejadian tersebut Pakubuwono ll mengetahui bahwa Raden Jayengrono masih trah keturunan dari Pakubuwono 1. Keduanya masih saudara satu kakek.
Raden Jayengrono adalah putra dari Raden Sasongko atau Adipati Harya Matahun, Bupati Jipang Bojonegoro dengan istri Raden Ayu Putri / Nyai Mas Sasongko putri dari Bupati Ponorogo Pangeran Mertawangsa ll. Adipati Harya Matahun sendiri adalah putra dari Pakubuwono l dengan istri Raden Ayu Kanastren putri R.A. Haryo Suroloyo putri Panembahan Pruwita putra Pangeran Prawoto putra Panembahan Prawoto putra Sunan Prawoto, putra Pangeran Trenggono putra Raden Patah.
Makam Adipati Haryo Matahun. |
(Dalam hal ini Adipati Harya Matahun bersambung nasab sampai ke Majapahit dari jalur Raden Bondan Kejawan dari garis ayah dan jalur Raden Patah dari garis ibu. Adapun dari garis istri bersambung sampai Bathara Katong Ponorogo, jadi Harya Matahun bukan berasal dari trah Bre Metahun sebagaimana diduga oleh beberapa orang).
Ketika Rara Kanastren hamil Raden Sasongko hamil, ia dititipkan kepada Raden Sontodirjo putra Tumenggung Dadap Tulis, Wedana Carik Kraton Kertasura. Setelah besar Raden Sasongko diangkat sebagai Bupati Jipang Bojonegoro dibekas wilayah Kadipaten Rajekwesi. Adipati Harya Matahun kelak gugur dalam peperangan melawan pasukan Sampang, Madura di Bedholeng daerah Sidayu Gresik.
Pangeran Cakraningrat IV, pemimpin Madura Barat (1718-1746) menolak kekuasaan Mataram. Ia bersekutu dengan pemimpin Surabaya dan keturunan Surapati yang masih menguasai sebagian Jawa Timur dan berhenti mengirim upeti beras dan membayar bea pelabuhan Jawa Timur ke VOC. VOC mencoba berunding dengan dia pada bulan Juli 1744 tetapi ditolak. Pada Februari 1745 VOC menyatakan Cakraningrat IV makar.
Cakraningrat IV angkat senjata dan menyerang Madura Timur. Mula-mula pasukan VOC kewalahan, tetapi arus berbalik. Akhirnya Cakraningrat terpaksa lari ke Banjarmasin dengan harapan dapat memperoleh dukungan orang Inggris, namun usahanya sia-sia karena ia ditangkap di sana dan diserahkan kepada VOC yang mengirimnya ke Kaap de Goede Hoop (Tanjung Harapan) di Afrika Selatan tahun 1746. Karenanya, ia mendapat julukan Panembahan Siding Kaap.
Waktu itu Adipati Harya Matahun dan tentara Jipang dikerahkan untuk menggempur Madura. Tetapi penguasa Sidayu Tumenggung Secadiningrat putra Cakraningrat menghadang pasukan Jipang dan terjadilah pertempuran dahsyat. Adipati Harya Matahun yang sudah sepuh gugur pada Sabtu Kliwon 1735 M. Raden Tumenggung Kramawijaya, Adipati Japan yang merupakan putra Adipati Harya Matahun membawa jenazah ayahnya ke Jipang dan dimakamkan di Astana Majaranu, Dander Bojonegoro.
Adapun Raden Jayengrono putra ke 8 dari 13 putra Adipati Harya Matahun kala itu sedang nyantri ditempat asal ibunya di Ponorogo. Ia berguru kepada Kyai Ronggo Joyo (keturunan Ki Ageng Mirah) di Kranggan Ponorogo bersama para santri lainnya dari Demak. Diperkirakan Raden Jayengrono datang ke Ponorogo diusia 20 tahun pada 1696 dan menyamar sebagai anak desa. Setelah memperdalam ilmu agama kepada Kyai Ronggo Joyo kelak ia dipanggil dengan sebutan Syekh Sardulo Seto.
Selama berada di Desa Kranggan, ada seorang tokoh masyarakat yang tidak menyukai keberadaan beliau yang bernama Ki Jurang yang telah menempati wilayah Kranggan jauh sebelum Raden Jayengrono dan terkenal dengan kesaktiannya. Perseteruan sering terjadi antara Ki Jurang dan Raden Jayengrono. Setiap peperangan Ki Jurang ini kalah dan mati, akan tetapi dapat hidup lagi.
Akhirnya Raden Jayengrono memutuskan untuk memisahkan bagian badan Ki Jurang menjadi dua dan dimakamkan di tempat yang berbeda. Bagian kepala dimakamkan disebelah barat sungai Desa Kranggan, sedangkan badannya dimakamkan disebelah timur sungai. Semenjak kejadian tersebut lingkungan sekitar makam Ki Jurang tersebut dinamakan dengan Jurang Kikir.
Kembali pada kisah awal di 1742 M, setelah Pakubuwono II beristirahat di rumah Raden Jayengrono, Pakubuwono II melanjutkan perjalanan dengan mengajak Raden Jayengrono sebagai penunjuk arah. Bupati Ponorogo Raden Tumenggung Surobroto yang mendengar keberadaan dari rombongan Pakubuwono menemuinya dan memohon untuk menuju ke kabupaten, namun beliau belum berkenan.
Pada suatu malam ketika rombongan Pakubuwono II beristirahat di sebuah bukit Raden Jayengrono melihat cahaya yang terang dari kejauhan. Merekapun mengikuti cahaya tersebut yang akhirnya jatuh di tempat seorang Mpu yang bernama Mpu Salembu. Cahaya tersebut dinamai dengan Pulung atau wahyu yang mempunyai kekuatan penjagaan dari segala marabahaya dan gangguan jin. Dan sejak kejadian itu, Raden Jayengrono diberi gelar oleh Pakubuwono II dengan nama Syekh Muhammad Nur Alam.
Kemudian rombongan melanjutkan perjalanan kearah selatan dan singgah di sebuah wilayah dimana Pakubuwono lI dan Raden Jayengrono diberi sebuah Legen (air kelapa) oleh penduduk
sekitar wilayah tersebut. Rasa dari air kelapa tersebut manis seperti buah sawo. Maka dari itu tempat persinggahan Pakubuwono II dan Raden Jayengrono tersebut diberi nama Sawoo.
Setelah singgah di Sawoo, rombongan melanjutkan perjalanan ke barat. Mereka menemui suara seperti gerombolan dengungan lebah. Ternyata ada sebuah masjid yang sedang melaksanakan Dzikir bersama di waktu malam. Selain masjid, terdapat pula sebuah pondok pesantren yang dipimpin oleh Kyai Ageng Hasan Besari. Dengan dibantu oleh Kiyai Raden Jayengrono dan Pakubuwono II merancang sebuah strategi untuk merebut kembali Keraton Kartosuro.
Setelah strategi perang dirancang, Raden Jayengrono dan Pakubuwono II melanjutkan perjalanan kembali untuk merebut keraton Kertasura yang telah direbut oleh Sunan Kuning sejak Juli 1742 dengan gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrohman Sayidin Panotagomo. Dia mengangkat Tumenggung Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo (Pangeran Prangwedana) sebagai panglima perang.
Dalam perjalanannya, rombongan beristirahat di sebuah rumah seorang janda di Sumoroto dan diberi sebuah Jenang. Janda tersebut bernama Mbok Rondho Punuk. Pakubuwono II pun langsung memakan jenang tersebut di bagian tengahnya, padahal jenang tersebut masih dalam keadaan panas.
Mbok Rondho Punuk kemudian menyampaikan firasatnya apabila perang tersebut terjadi maka akan langsung menuju ke bagian tengah, dalam artian akan terjadi pertumpahan darah dan bisa mengakibatkan rombongan Pakubuwono II dan Raden Jayengrono kalah. Akhirnya Raden Jayengrono mempunyai strategi untuk melakukan peperangan dengan cara halus, yaitu memakai tak tik memakai pakaian adat keraton.
Sesampainya di keraton, mereka memakai pakaian adat keraton untuk menemui Sunan Kuning. Hal itu menjadikan pasukan Sunan Kuning kebingungan, tudak mengetahui apakah mereka lawan atau kawan. Akhirnya mereka pun berperang dengan tidak menggunakan senjata atau dengan tangan kosong dan akhirnya pasukan Sunan Kuning lumpuh berhasil dilumpuhkan dan Keraton Kartosura kembali lagi dipimpin oleh Pakubuwono ll.
Pada tahun 1745 atas jasa-jasanya mengantarkan kembali Pakubuwono ll ke singgasana Kartosura, Raden Jayengrono kemudian diangkat menjadi Bupati oleh Pakubuwono ll dan beliau dapat memilih wilayahnya sendiri. Raden Jayengrono beserta anak istridan beberapa pengikutnya kemudian beliau babad (menebang hutan) di kawasan
selatan Watudhakon. Semakin ke selatan, ternyata Tumenggung Jayengrono bertemu rombongan lain yang telah lebih dahulu babad alas di tempat itu.
Kelompok tersebut dipimpin oleh Donoyudo, anak dari Patih Selo Aji, Patih dari Bathoro Katong. Keduanya lalu berbincang, ternyata Donoyudo ingin memberikan tanah yang ia babad lalu Tumenggung Jayengrono bertanya berapa yang ingin diserahkan dan dijawab SEDANTEN (semuanya) maka lahirlah nama kabupaten Pedanten. Untuk menghargai jasa Donoyudo, beliau dijadikan saudara (Sentono) kemudian tempatnya diberi nama Ronosentanan.
Kabupaten Pedanten berpusat di desa Patihan Kidul. Kabupaten Pedanten ini meliputi delapan kecamatan di wilayah Ponorogo Timur. Kecamatan tersebut di antaranya Siman, Jetis, Mlarak, Sawoo, Pulung, Pudak, Sooko, dan Sambit.
Tumenggung Jayengrono dikenal apambeg pandita (bahasa Jawa kuno, artinya tingkah laku halus bagaikan pendeta). Tutur kata selalu menyenangkan dan membuat bahagia orang lain. Beliau suka melakukan tirakat, mengurangi makan dan tidur. Malam hari beliau berjaga dengan mengelilingi wilayahnya sehingga dijuluki Kyai Sambang Dalan.
Menjelang usia tua, Tumenggung Jayengrono teringat pada Empu Selembu yang memberinya pusaka. Beliau lalu ke Pulung menemui Empu Selembu dan diterima oleh empu selembu. Empu Selembu meminta Tumenggung Jayengrono membuat rumah di Pulung agar daerah tersebut ramai. Akhirnya Tumenggung Jayengrono membuat rumah dan mengisi hari tua di Pulung hingga meninggal tahun 1780.
Tahun 1887 Sunan Pakubuwono III memberikan piagam bahwa desa Pulung dan Tajug diberi status tanah perdikan (daerah bebas pajak) dinamakan Piagam Pulungsari. Tetapi pemerintah kolonial Belanda merasa hal tersebut merugikan karena tanah perdikan dibebaskan dari pajak maka wilayah perdikan kemudian dibatasi menjadi wilayah yang saat ini disebut Pulung Merdiko.(*)
● Sumber :
- Purwowijoyo, Babad Ponorogo jilid lll
- Syahrul Hakiki, Strategi Dakwah Raden Jayengrono dalam menyebarkan Islam di Kecamatan Pulung - skripsi.