Lanjutan dari Hal ..... 2
Hiasan garuda membawa amerta dalam artefak yang kita bahas ini, tidak begitu saja dapat diduga sebagai makna yang berhubungan dengan peristiwa Adiparwa. Itu haruslah berhubungan dengan garuda yang melambangkan kebebasan, sedangkan air amerta berarti air suci abadi (Zoetmulder, 2004; Mardiwarsito, 1986; Wojowasito, 1977).
Kebebasan dan keabadian ini hanya dapat dipahami apabila kita berbicara tentang ‘jivan mokta’, yang merupakan salah satu ciri dari aliran tantra mengenai usaha mempercepat proses pencapaian moksa, yaitu pembebasan dari semua ikatan duniawi untuk mencapai kesempurnaan, walaupun yang bersangkutan masih hidup (Pitono, 1969; Sulaiman, 1980; Santiko, 1990). Juga perlu mendapat perhatian di sini bahwa garuda dalam pandangan Budhisme kalacakra, merupakan burung nyawa yang rakus sebagai tunggangan dari Budha Amoghasiddhi (Moens, 1974).
C. Dalam ikonografi Hindu, figur raksasa dalam posisi berdiri membawa gada dapat diidentikkan sebagai Mahakala. Mahakala adalah salah satu aspek dari dewa Siwa yang bersifat kroda/demonis (Soekmono, 1988).
Di Jawa, Mahakala dapat dijumpai pada candi-candi Hindu. Penempatannya bersandingan sebagai penjaga pintu ruang utama bersama Nandiswara, yang juga merupakan aspek Siwa yang bersifat santa. Berkenaan dengan figur Mahakala dalam pembahasan ini yang berdiri sendiri tanpa Nandiswara, pun dilihat dari sikap berdirinya yang merentangkan kakinya (seperti berdirinya arca Catuhkaya dari Pejeng-Bali (Bernet Kempers, 1956), tidak dapat dihubungkan dengan Mahakala sebagai penjaga kuil Siwa. Dalam pandangan kepercayaan Budhisme kalacakra, disebutkan bahwa Mahakala adalah pembunuh besar sebagai penguasa lapangan mayat, yang dikalahkan oleh sang Budha.
Di lapangan mayat itulah ketika api pembakaran membubung tinggi dan menghancurkan apa yang dibakar, di sanalah tempat Mahakala dengan rambutnya yang bernyala-nyala kemerah-merahan dengan sifat krodanya, dilingkupi oleh agni (api) gelap dalam wujud seekor burung garuda sebagai burung nyawa yang rakus (Moens, 1974).
D. Figur terakhir adalah figur berwajah demonis dengan pakaian kedewaan sedang melakukan sebuah gerakan menari. Dalam paham Hindu, dewa yang melakukan tarian seolah-olah tanpa berhenti adalah Siwa, oleh karenanya disebut sebagai Nrtta atau Tandava murti (Harshananda, 1999). Pun dalam kepercayaan Hindu-Budha, Siwa melakukan tarian ketika dalam wujudnya sebagai Bhairawa, yaitu dewa lapangan mayat yang berwajah raksasa yang terkenal dalam aliran tantra (Moens, 1974; Soekmono, 1988). Gambaran figur ini posisi gerak kakinya menyerupai gerak kaki arca Bhairawa dari Singosari (Bernet Kempers, 1959; Soekmono, 1988), arca Bhairawa atau Bhima dari Pura Kebo Edan Gianyar-Bali (Bernet Kempers, 1956; Surasmi, 2007), serta relief-relief raksasa dari biaro Bahal I (Sulaiman, 1985). Yang semuanya menunjuk kepada suatu tarian dalam prosesi upacara tantra. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa gambaran itu adalah ‘Siwa’ yang menari, yang dalam aliran tantra dikenal sebagai ‘Bhairawa’.
E. Lukisan pemandangan hutan dengan sebuah ‘bale’ sebagai latar belakang, serta beberapa orang yang sebagian berpakaian pertapa di dalam ceruk, ada yang berperut buncit tanda kekenyangan dengan wadah mangkuk di depannya, ada figur pertapa melakukan samadi yang penggambarannya mirip dhyani Budha Amitabha.
Dalam hal ini aturan-aturan tersebut mirip dengan cerita yang terdapat dalam naskah Tantu panggelaran tentang cerita mPu Bharang yang melakukan tapa Bhairawa (Pigeaud, 1924), serta cerita Bubuksa Gagangaking, dalam hal ini Bubuksa pun melakukan tapa Bhairawa (Soewito, 1975).
Lingkungan mandala semacam ini dalam naskah Nagarakretagama disebut sebagai ‘karesyan’ yang di dalamnya termasuk ‘caturbhasma mandala’ dan ‘katyagan caturasrama’ (Pigeaud, 1960; Slametmulyana, 1979; Robson, 1995; Riana, 2009). Bhasma berarti abu, biasanya berupa abu sisa pembakaran pembakaran mayat, yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk upacara tantra, yaitu dipakai untuk melumuri tubuh si sadhaka dalam upacara tersebut (Santiko, 1990).
Apabila relief ini dikorelasikan dengan gambar Garuda, Mahakala, dan Bhairawa, maka tidak diragukan lagi bahwa lukisan dari semua relief itu menggambarkan suatu wanasrama mandala Bhasma, yaitu sebuah ksetra dari aliran tantra sebagai tempat melakukan prosesi upacara tantra. Hal ini tentunya kita ingat akan naskah Tantu Panggelaran bahwa wanasrama di Kalyasem merupakan pusat aliran Siwa Bhairawa tempat Pu Bharang melakukan samadi (Pigeaud, 1924). Juga naskah Calon Arang yang menyebutkan tempat upacara yang dilakukan oleh Calon Arang di sebuah tempat angker atau pekuburan (Poerbatjaraka, 1975).
F. Kelintingan-kelinting (circir) yang menghiasi pinggir-pinggirnya, mengingatkan kepada circir yang digunakan oleh para pendeta dari aliran tantra sebagai sarana prosesi upacara. Arca Bhairawa dari percandian Singosari mengenakan sabuk dari sederetan circir yang diikatkan di perutnya. Begitu pula Bhairawa dari Padangroco mengenakan sabuk dengan gantungan circir. Di Bali, para Sengguhu (semacam pedanda) memakai tanda-tanda kebesaran Bhairawa, yaitu gendang kecil dan circir yang digantungkan pada sebuah cakra dengan gagang garuda (Moens, 1974; Surasmi, 2007).
Dengan demikian circir merupakan salah satu ciri dari sarana upacara tantra.
Dari analisa pembahasan di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa ditinjau dari sisi Mikrologi terhadap bagian-bagian benda mulai dari gambar Tangan dengan jari-jari terbuka yang menunjuk kepada mudra tertentu, Garuda dengan guci amerta yang melambangkan pelepasan dan keabadian (moksa), Mahakala sebagai penguasa lapangan mayat, dan Bhairawa yang sedang melakukan tarian, serta gambaran sebuah lingkungan mandala pertapaan, maka dapat dikatakan bahwa benda tersebut sarat dengan filsafat Tantrayana.
Aliran tantra yang menonjol di Indonesia adalah masa raja Kertanagara dari kerajaan Singasari abad XIII M dan raja Adityawarman dari kerajaan Malayu di Sumatra abad XIV M. Mengingat akan hal itu dapatlah kiranya dikemukakan bahwa benda tersebut dihubungkan dengan keagamaan dua raja itu.
Kalaupun benda tersebut diduga merupakan pengaruh Champa dan atau berasal dari Champa, kebenaran itu tidak terlalu jauh, karena Singasari pada masa raja Kertanagara pernah mengadakan hubungan persahabatan dengan Champa (Sumadio, 2010) pada masa pemerintahan Jaya Simhawarman III (1288-1307) yang memiliki seorang istri dari Jawa, yaitu ratu Tapasi (Hall, 1988; Coedes, 2015). Menilik hubungan antara Champa dan Jawa, dengan sendirinya keterkaitan antara benda tersebut dengan seorang raja sudah jelas, yaitu berhubungan dengan raja Kertanagara dari kerajaan Singasari.
Sebagai penegasan pula untuk memperkuat dugaan bahwa benda tersebut dibuat sezaman dengan masa kesenian Singasari, adalah motif kain yang dipakai oleh Garuda dan Mahakala, yaitu motif ‘jlamprang’, serta hiasan tanduk yang terdapat pada kepala Mahakala.
Sejauh penelitian terhadap motif-motif kain yang dikenakan pada arca, hanya arca-arca Singasari yang memiliki motif ‘jlamprang’, itupun hanya arca ‘Prajnaparamitha’ Ken Dedes, arca Parwati di candi Singosari, serta arca Durga
Mahisasuramardini dari candi Singosari yang sekarang di Leiden. Sementara hiasan tanduk yang dikenakan oleh Mahakala sangat mirip dengan hiasan tanduk pada kepala Kala candi-candi di Jawa Timur terutama kepala Kala produk kesenian Singasari seperti candi Kidal, Jago, Singosari, dan Jawi.
Lebih jauh di sini diusulkan bahwa lambang-lambang yang terdapat di dalamnya, yaitu gambar Tangan dengan jari-jari terbuka, Garuda, Mahakala, dan Bhairawa diduga merupakan sebuah sengkala, seperti yang pernah ditafsirkan Bambang Budi Utomo terhadap Arca stambha gajah, gana, dan singa dari candi Bumiayu Sumatra, yang dibaca sebagai angka tahun 818 (Soejatmi Satari, 2002; Susetyo, 2010), serta sengkala dari candi Sawentar II yang salah satunya bergambar Naga bermahkota menggigit matahari yang ditafsir oleh Baskoro Daru Tjahjono sebagai angka tahun 1318 (Daru Tjahjono, 1999).
Demikian pula halnya artefak pembahasan ini. Gambaran Tangan memiliki arti angka: 2, Garuda (raja burung) : 1, Mahakala (penguasa/penjaga) : 2, Bhairawa : 1. Sehingga terbaca angka tahun 2121. Pembacaan sengkala dilakukan terbalik, yaitu 1212, yang tentunya menunjuk kepada tahun saka. Jika dijadikan tahun masehi ditambah 78, sehingga terdapat tahun 1290 M, yang diduga merupakan tahun pembuatan. Menurut prasasti Aksobhya di Simpang Surabaya, raja Kertanagara ditahbiskan sebagai Jina tahun 1289 M. Gelaran Jnanabjreswara untuknya, menunjuk bahwa Kertanagara mencapai Jivan Mokta, yang tidak lagi terkena akibat-akibat dari panca Ma, dan baginya tidak ada lagi hal yang terlarang.
Dari uraian tersebut dapat diduga bahwa benda tersebut merupakan salah satu artefak yang tergolong ideofak, yaitu suatu benda yang berhubungan dengan keagamaan. Dalam kepercayaan Tantra, benda tersebut adalah ‘Yantra’ yang merupakan alat bantu dalam upacara tantra untuk melakukan meditasi atau samadi (Rita Istari, 2002).
Kesimpulan
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Benda yang merupakan artefak peninggalan masa lampau dengan sebutan ‘Garudeya’, adalah sebuah ideofak yang berhubungan dengan kepercayaan atau religi.
2. Ditinjau dari hiasannya yang sarat dengan filsafat tantra, benda tersebut dikenal sebagai ‘Yantra’, yaitu sebagai alat bantu dalam upacara.
3. Ditinjau dari seni ornamentasinya, benda tersebut terdapat kesamaan dengan kesenian yang berkembang masa Singasari.
4. Karena erat hubungannya dengan kesenian Singasari, maka secara historis benda tersebut dapat dihubungkan dengan raja Kertanagara, sebagai raja yang tekun dan rajin dalam melakukan upacara-upacara tantra.
5. Gambar-gambar yang ada dalam kesatuan benda tersebut diduga merupakan sebuah sengkala yang dapat dibaca sebagai kesatuan angka tahun 1212 saka atau 1290 M.
Selesai
Hiasan garuda membawa amerta dalam artefak yang kita bahas ini, tidak begitu saja dapat diduga sebagai makna yang berhubungan dengan peristiwa Adiparwa. Itu haruslah berhubungan dengan garuda yang melambangkan kebebasan, sedangkan air amerta berarti air suci abadi (Zoetmulder, 2004; Mardiwarsito, 1986; Wojowasito, 1977).
Kebebasan dan keabadian ini hanya dapat dipahami apabila kita berbicara tentang ‘jivan mokta’, yang merupakan salah satu ciri dari aliran tantra mengenai usaha mempercepat proses pencapaian moksa, yaitu pembebasan dari semua ikatan duniawi untuk mencapai kesempurnaan, walaupun yang bersangkutan masih hidup (Pitono, 1969; Sulaiman, 1980; Santiko, 1990). Juga perlu mendapat perhatian di sini bahwa garuda dalam pandangan Budhisme kalacakra, merupakan burung nyawa yang rakus sebagai tunggangan dari Budha Amoghasiddhi (Moens, 1974).
C. Dalam ikonografi Hindu, figur raksasa dalam posisi berdiri membawa gada dapat diidentikkan sebagai Mahakala. Mahakala adalah salah satu aspek dari dewa Siwa yang bersifat kroda/demonis (Soekmono, 1988).
Di Jawa, Mahakala dapat dijumpai pada candi-candi Hindu. Penempatannya bersandingan sebagai penjaga pintu ruang utama bersama Nandiswara, yang juga merupakan aspek Siwa yang bersifat santa. Berkenaan dengan figur Mahakala dalam pembahasan ini yang berdiri sendiri tanpa Nandiswara, pun dilihat dari sikap berdirinya yang merentangkan kakinya (seperti berdirinya arca Catuhkaya dari Pejeng-Bali (Bernet Kempers, 1956), tidak dapat dihubungkan dengan Mahakala sebagai penjaga kuil Siwa. Dalam pandangan kepercayaan Budhisme kalacakra, disebutkan bahwa Mahakala adalah pembunuh besar sebagai penguasa lapangan mayat, yang dikalahkan oleh sang Budha.
Di lapangan mayat itulah ketika api pembakaran membubung tinggi dan menghancurkan apa yang dibakar, di sanalah tempat Mahakala dengan rambutnya yang bernyala-nyala kemerah-merahan dengan sifat krodanya, dilingkupi oleh agni (api) gelap dalam wujud seekor burung garuda sebagai burung nyawa yang rakus (Moens, 1974).
D. Figur terakhir adalah figur berwajah demonis dengan pakaian kedewaan sedang melakukan sebuah gerakan menari. Dalam paham Hindu, dewa yang melakukan tarian seolah-olah tanpa berhenti adalah Siwa, oleh karenanya disebut sebagai Nrtta atau Tandava murti (Harshananda, 1999). Pun dalam kepercayaan Hindu-Budha, Siwa melakukan tarian ketika dalam wujudnya sebagai Bhairawa, yaitu dewa lapangan mayat yang berwajah raksasa yang terkenal dalam aliran tantra (Moens, 1974; Soekmono, 1988). Gambaran figur ini posisi gerak kakinya menyerupai gerak kaki arca Bhairawa dari Singosari (Bernet Kempers, 1959; Soekmono, 1988), arca Bhairawa atau Bhima dari Pura Kebo Edan Gianyar-Bali (Bernet Kempers, 1956; Surasmi, 2007), serta relief-relief raksasa dari biaro Bahal I (Sulaiman, 1985). Yang semuanya menunjuk kepada suatu tarian dalam prosesi upacara tantra. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa gambaran itu adalah ‘Siwa’ yang menari, yang dalam aliran tantra dikenal sebagai ‘Bhairawa’.
E. Lukisan pemandangan hutan dengan sebuah ‘bale’ sebagai latar belakang, serta beberapa orang yang sebagian berpakaian pertapa di dalam ceruk, ada yang berperut buncit tanda kekenyangan dengan wadah mangkuk di depannya, ada figur pertapa melakukan samadi yang penggambarannya mirip dhyani Budha Amitabha.
- Suasana relief semacam ini mengingatkan kepada adanya sebuah mandala (lingkungan pertapaan). Namun pertapaan di dalam hutan yang aneh ini, pertapa di satu sisi berperut buncit tanda kekenyangan, di sisi lain lagi duduk samadi seolah tanpa terganggu, akan mudah dipahami apabila kita mengkorelasikan dengan naskah Sang Hyang Kamahayanikan (Sumonggokarso, 1988) dan Sutasoma (Woro Retno Mastuti dan Bramantyo, 2009) yang menguraikan tentang keberadaan mandala pertapaan dan tata aturan dalam melakukan tapa.
Dalam hal ini aturan-aturan tersebut mirip dengan cerita yang terdapat dalam naskah Tantu panggelaran tentang cerita mPu Bharang yang melakukan tapa Bhairawa (Pigeaud, 1924), serta cerita Bubuksa Gagangaking, dalam hal ini Bubuksa pun melakukan tapa Bhairawa (Soewito, 1975).
Lingkungan mandala semacam ini dalam naskah Nagarakretagama disebut sebagai ‘karesyan’ yang di dalamnya termasuk ‘caturbhasma mandala’ dan ‘katyagan caturasrama’ (Pigeaud, 1960; Slametmulyana, 1979; Robson, 1995; Riana, 2009). Bhasma berarti abu, biasanya berupa abu sisa pembakaran pembakaran mayat, yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk upacara tantra, yaitu dipakai untuk melumuri tubuh si sadhaka dalam upacara tersebut (Santiko, 1990).
Apabila relief ini dikorelasikan dengan gambar Garuda, Mahakala, dan Bhairawa, maka tidak diragukan lagi bahwa lukisan dari semua relief itu menggambarkan suatu wanasrama mandala Bhasma, yaitu sebuah ksetra dari aliran tantra sebagai tempat melakukan prosesi upacara tantra. Hal ini tentunya kita ingat akan naskah Tantu Panggelaran bahwa wanasrama di Kalyasem merupakan pusat aliran Siwa Bhairawa tempat Pu Bharang melakukan samadi (Pigeaud, 1924). Juga naskah Calon Arang yang menyebutkan tempat upacara yang dilakukan oleh Calon Arang di sebuah tempat angker atau pekuburan (Poerbatjaraka, 1975).
F. Kelintingan-kelinting (circir) yang menghiasi pinggir-pinggirnya, mengingatkan kepada circir yang digunakan oleh para pendeta dari aliran tantra sebagai sarana prosesi upacara. Arca Bhairawa dari percandian Singosari mengenakan sabuk dari sederetan circir yang diikatkan di perutnya. Begitu pula Bhairawa dari Padangroco mengenakan sabuk dengan gantungan circir. Di Bali, para Sengguhu (semacam pedanda) memakai tanda-tanda kebesaran Bhairawa, yaitu gendang kecil dan circir yang digantungkan pada sebuah cakra dengan gagang garuda (Moens, 1974; Surasmi, 2007).
Dengan demikian circir merupakan salah satu ciri dari sarana upacara tantra.
Dari analisa pembahasan di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa ditinjau dari sisi Mikrologi terhadap bagian-bagian benda mulai dari gambar Tangan dengan jari-jari terbuka yang menunjuk kepada mudra tertentu, Garuda dengan guci amerta yang melambangkan pelepasan dan keabadian (moksa), Mahakala sebagai penguasa lapangan mayat, dan Bhairawa yang sedang melakukan tarian, serta gambaran sebuah lingkungan mandala pertapaan, maka dapat dikatakan bahwa benda tersebut sarat dengan filsafat Tantrayana.
Aliran tantra yang menonjol di Indonesia adalah masa raja Kertanagara dari kerajaan Singasari abad XIII M dan raja Adityawarman dari kerajaan Malayu di Sumatra abad XIV M. Mengingat akan hal itu dapatlah kiranya dikemukakan bahwa benda tersebut dihubungkan dengan keagamaan dua raja itu.
Kalaupun benda tersebut diduga merupakan pengaruh Champa dan atau berasal dari Champa, kebenaran itu tidak terlalu jauh, karena Singasari pada masa raja Kertanagara pernah mengadakan hubungan persahabatan dengan Champa (Sumadio, 2010) pada masa pemerintahan Jaya Simhawarman III (1288-1307) yang memiliki seorang istri dari Jawa, yaitu ratu Tapasi (Hall, 1988; Coedes, 2015). Menilik hubungan antara Champa dan Jawa, dengan sendirinya keterkaitan antara benda tersebut dengan seorang raja sudah jelas, yaitu berhubungan dengan raja Kertanagara dari kerajaan Singasari.
Sebagai penegasan pula untuk memperkuat dugaan bahwa benda tersebut dibuat sezaman dengan masa kesenian Singasari, adalah motif kain yang dipakai oleh Garuda dan Mahakala, yaitu motif ‘jlamprang’, serta hiasan tanduk yang terdapat pada kepala Mahakala.
Sejauh penelitian terhadap motif-motif kain yang dikenakan pada arca, hanya arca-arca Singasari yang memiliki motif ‘jlamprang’, itupun hanya arca ‘Prajnaparamitha’ Ken Dedes, arca Parwati di candi Singosari, serta arca Durga
Mahisasuramardini dari candi Singosari yang sekarang di Leiden. Sementara hiasan tanduk yang dikenakan oleh Mahakala sangat mirip dengan hiasan tanduk pada kepala Kala candi-candi di Jawa Timur terutama kepala Kala produk kesenian Singasari seperti candi Kidal, Jago, Singosari, dan Jawi.
Lebih jauh di sini diusulkan bahwa lambang-lambang yang terdapat di dalamnya, yaitu gambar Tangan dengan jari-jari terbuka, Garuda, Mahakala, dan Bhairawa diduga merupakan sebuah sengkala, seperti yang pernah ditafsirkan Bambang Budi Utomo terhadap Arca stambha gajah, gana, dan singa dari candi Bumiayu Sumatra, yang dibaca sebagai angka tahun 818 (Soejatmi Satari, 2002; Susetyo, 2010), serta sengkala dari candi Sawentar II yang salah satunya bergambar Naga bermahkota menggigit matahari yang ditafsir oleh Baskoro Daru Tjahjono sebagai angka tahun 1318 (Daru Tjahjono, 1999).
Demikian pula halnya artefak pembahasan ini. Gambaran Tangan memiliki arti angka: 2, Garuda (raja burung) : 1, Mahakala (penguasa/penjaga) : 2, Bhairawa : 1. Sehingga terbaca angka tahun 2121. Pembacaan sengkala dilakukan terbalik, yaitu 1212, yang tentunya menunjuk kepada tahun saka. Jika dijadikan tahun masehi ditambah 78, sehingga terdapat tahun 1290 M, yang diduga merupakan tahun pembuatan. Menurut prasasti Aksobhya di Simpang Surabaya, raja Kertanagara ditahbiskan sebagai Jina tahun 1289 M. Gelaran Jnanabjreswara untuknya, menunjuk bahwa Kertanagara mencapai Jivan Mokta, yang tidak lagi terkena akibat-akibat dari panca Ma, dan baginya tidak ada lagi hal yang terlarang.
Dari uraian tersebut dapat diduga bahwa benda tersebut merupakan salah satu artefak yang tergolong ideofak, yaitu suatu benda yang berhubungan dengan keagamaan. Dalam kepercayaan Tantra, benda tersebut adalah ‘Yantra’ yang merupakan alat bantu dalam upacara tantra untuk melakukan meditasi atau samadi (Rita Istari, 2002).
Kesimpulan
Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Benda yang merupakan artefak peninggalan masa lampau dengan sebutan ‘Garudeya’, adalah sebuah ideofak yang berhubungan dengan kepercayaan atau religi.
2. Ditinjau dari hiasannya yang sarat dengan filsafat tantra, benda tersebut dikenal sebagai ‘Yantra’, yaitu sebagai alat bantu dalam upacara.
3. Ditinjau dari seni ornamentasinya, benda tersebut terdapat kesamaan dengan kesenian yang berkembang masa Singasari.
4. Karena erat hubungannya dengan kesenian Singasari, maka secara historis benda tersebut dapat dihubungkan dengan raja Kertanagara, sebagai raja yang tekun dan rajin dalam melakukan upacara-upacara tantra.
5. Gambar-gambar yang ada dalam kesatuan benda tersebut diduga merupakan sebuah sengkala yang dapat dibaca sebagai kesatuan angka tahun 1212 saka atau 1290 M.
Selesai