Sultan Ageng Tirtayasa lahir pada tahun 1631 dengan nama Pangeran Surya. Ia adalah putra pasangan Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Kanari dan Ratu Martakusuma.
Kakek dari ibunya adalah Pangeran Jayakarta, dan kakek dari ayahnya adalah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang merupakan sultan ke-5 Banten.
Dari ayah dan ibu yang sama, Pangeran Surya memiliki empat saudara, yaitu Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran Arya.
Sedangkan dari ayah yang sama dan ibu yang berbeda, ia juga memiliki empat saudara, yaitu Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Intan, dan Ratu Timpuruk.
Pangeran Surya diangkat menjadi sultan muda pada 1650. Sebab ayahnya, Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Kanari, yang menjabat sebagai sultan muda selama periode 1640–1650, telah terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta.
Setelah satu tahun menjabat sebagai sultan muda yang bergelar Pangeran Adipati, ia dinobatkan sebagai sultan ke-6 Banten dan diberi gelar Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah. Sebab, sang kakek yang sebelumnya menjabat sebagai sultan ke-5 telah meninggal pada 10 Maret 1651.
Selama hidupnya, Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah pernah menikah sebanyak tiga kali. Namun, istri kedua dan ketiganya dinikahi setelah istri pertama meninggal dunia.
Nama istri pertama Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah tak diketahui karena tak terukir dalam sejarah, sedangkan istri kedua dan ketiganya bernama Nyi Ayu Ratu Gede dan Ratu Nengah.
Kebijakan SULTAN AGENG TIRTAYASA dan Perjuangannya Melawan VOC
1. Kebijakan Dalam Negeri
Untuk meningkatkan hasil pertanian Banten yang bisa berujung dengan kemakmuran masyarakat, Sultan Ageng membuka lahan-lahan persawahan baru.
Agar penduduk tak kesulitan untuk mengairi sawahnya, Sultan juga membangun sistem irigasi agar masyarakat tak perlu menunggu hujan untuk bercocok tanam.
Di bidang pendidikan, Sultan membangun pesantren-pesantren untuk memudahkan masyarakatnya yang ingin menimba ilmu keislaman. Di bidang keagamaan pun demikian, Sultan membangun banyak masjid agar masyarakatnya bisa melaksanakan ibadah di tempat yang layak.
Sedangkan untuk pemerintahannya, Sultan ingin agar nuansa keislaman tetap terpancar di Kesultanan Banten. Oleh sebab itu, ia sampai mengangkat Syekh Yusuf, ulama yang didatangkan dari Makassar, untuk menjadi mufti (ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat) dan menjadi penasehatnya dalam menentukan segala keputusan.
2. Kebijakan Luar Negeri
Untuk kebijakan luar negerinya, Sultan Ageng berani mengambil langkah tegas dengan tak melanjutkan perjanjian dagang dengan VOC. Padahal, perjanjian tersebut sudah ada sejak tahun 1645, yaitu dimulai masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, kakek Sultan Ageng.
Bukan hanya tak mau melanjutkan perjanjian dagang, Sultan Ageng juga dengan berani berusaha menghalang-halangi VOC untuk berdagang di Banten.
Gara-gara kebijakan-kebijakan yang diterapkan Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah ini, VOC marah sehingga pelabuhan Banten di blokade, dan pedagang-pedagang yang tadinya berlabuh di Banten dipaksa untuk berlabuh di Batavia.
Tak terima, Sultan Ageng mulai menyerang VOC dengan cara membakar kebun-kebun tebu dan alat penggilingan milik VOC. Tak hanya itu, Sultan juga memerintahkan pasukannya untuk membakar kampung yang menjadi pos pertahanan VOC.
Mendapat perlawanan yang demikian, VOC tak tinggal diam.
Mereka berusaha memperkuat pertahanan di daerah Angke yang pernah di serang Sultan Ageng, dan juga perbatasan Tangerang-Jakarta. Ya, perang antara Banten dan VOC yang terjadi sepanjang tahun 1656 itu walaupun tidak terbilang besar, tapi tetap menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak.
Sultan Ageng sadar bahwa perlawanannya terhadap VOC kurang membawa hasil yang gemilang dan terlalu berisiko jika dilakukan sendiri. Oleh karenanya, ia juga berupaya menjalin persahabatan dengan kerajaan lain yang sama-sama menentang VOC.
Sedangkan untuk hubungan kerja sama antar kerajaan yang telah terjalin, sang sultan berusaha untuk memperkokohnya. Nah, dari sekian banyak kerajaan yang diajak bekerja sama, beberapa di antaranya, yaitu Cirebon, dan Gowa.
Perjanjian Damai Dengan VOC
Setelah sebelumnya gencar berperang, akhirnya pada akhir tahun 1657, Kesultanan Banten dan VOC sepakat untuk melakukan perjanjian damai.
VOC mengusulkan agar orang-orang VOC dari Batavia, termasuk yang sudah disunat (memeluk Islam), yang ditahan di Banten dikembalikan. Sedangkan Banten mengajukan syarat agar diizinkan berdagang ke Ambon, Perak, dan Makassar.
Namun, pada 29 April 1658, VOC mengajukan syarat damai tambahan yang isinya menyatakan bahwa Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan 1.500 ekor lembu, kapal VOC yang berlabuh di Banten tidak diperiksa, dan VOC tidak membayar bea cukai untuk kapalnya yang lewat perairan dan berlabuh di Banten.
Karena VOC mengajukan syarat tambahan, pada 4 Mei 1658, Sultan Ageng juga mengajukan syarat tambahan yang menyatakan bahwa pasukan Kesultanan Banten harus diizinkan datang ke Batavia tiap setahun sekali untuk membeli meriam, peluru, mesiu, dan cengkih. Namun, VOC tak bersedia mengabulkan syarat dari Kesultanan Banten sehingga kesepakatan damai pun berakhir.
Oleh sebab itu, pada 11 Mei 1658, Sultan mengumumkan peperangan terhadap VOC dengan cara menyerang dan menghancurkan kapal VOC hingga merebut daerah Angke yang saat itu dikuasai VOC. Untuk membuat para prajuritnya bersemangat melawan VOC, ia sampai menjanjikan hadiah berlimpah berupa kedudukan dan uang untuk siapa saja yang berhasil membunuh opsir VOC.
Serangan yang terus dilancarkan pihak Kesultanan Banten membuat VOC lelah. Ujung-ujungnya, mereka kembali menawarkan perjanjian damai lewat perantara Sultan Jambi.
Perjanjian damai yang berisi enam syarat tersebut disetujui Sultan Ageng pada 10 Juli 1659. Meski sebenarnya, sang sultan merasa kurang puas karena tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa Banten bebas berdagang dengan Ambon.
Kesepakatan damai bersama VOC sudah ditandatangani, tapi Sultan Ageng paham bahwa VOC sangat licik sehingga kemungkinan mereka menyerang tiba-tiba tetap ada.
Oleh sebab itu, Sultan Ageng yang selama ini tinggal di Surasowan, membangun istana lagi di daerah Tirtayasa (sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang) yang dimaksudkan sebagai benteng pertahanan.
Politik Adu Domba yang Berujung Perseteruan Dengan Sultan Haji
Meski memiliki persenjataan yang canggih, VOC paham bahwa kekuatan pasukan Kesultanan Banten tak bisa diremehkan. Oleh sebab itu, mereka melancarkan politik adu domba untuk mengobrak-abrik keluarga sultan dari dalam. Jadi, Kesultanan Banten akan kacau dengan sendirinya tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Ya, mereka menemukan celah lewat Sultan Haji.
Sebagai seorang sultan, sesuai tradisi, Sultan Ageng mengangkat putra sulungnya, Pangeran Gusti, menjadi sultan muda dengan gelar Pangeran Anom. Kemudian, Sultan Ageng meminta Pangeran Anom pergi ke Makkah untuk lebih memperdalam ajaran Islam. Sedangkan tugas-tugas sultan muda, untuk sementara digantikan oleh Pangeran Purbaya, adik Pangeran Anom.
Melihat kesuksesan sang adik dalam melaksanakan tugas sultan muda, membuat Pangeran Anom yang saat itu baru pulang dari Makkah merasa takut jika tahta akan diserahkan pada Pangeran Purbaya. Untuk mencegah hal tersebut, Pangeran Anom memaksa Sultan Ageng untuk menyerahkan tahta padanya.
Tidak ingin menimbulkan keributan, pada 1671, Sultan Ageng menyerahkan urusan sehari-hari Kesultanan Banten kepada Pangeran Anom.
Setelah diangkat menjadi sultan, Pangeran Anom diberi gelar Sultan Abu Nashar Abdul Qahar yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji. Sejak saat itu, Sultan Ageng lebih memilih untuk tinggal di Istana Tirtayasa, sedangkan Istana Surasowan ditempati oleh Sultan Haji.
Tindakan Sultan Haji yang tidak sopan terhadap ayahnya sendiri sebenarnya bukan tanpa alasan.
Di balik itu, ada VOC yang melihat bahwa Sultan Haji adalah orang yang lemah hati dan mudah dipengaruhi. Jadi, mereka semakin mengobarkan rasa iri yang ada di benak Sultan Haji terhadap Pangeran Purbaya.
Peperangan Antara Ayah dan Anak
Seiring berjalannya waktu, Sultan Ageng menyadari bahwa putranya telah dipengaruhi oleh VOC.
Pada puncaknya, Sultan Ageng benar-benar kesal karena Sultan Haji mengirimkan ucapan selamat atas pengangkatan Rijklof van Goens menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Jovan Maetsuyker yang meninggal dunia pada 4 Januari 1678.
Tak ingin bahwa penerusnya malah bekerja sama dengan musuh, Sultan Ageng memerintahkan pasukannya untuk menyerang Istana Surasowan yang ditempati Sultan Haji pada 26 Februari 1682. Akibat serangan yang mendadak itu, Sultan Haji terdesak dan melarikan diri untuk meminta bantuan VOC.
Karena prajurit VOC yang ada di Banten kewalahan menangani pasukan Sultan Ageng, didatangkanlah dua kapal pasukan dari Batavia yang dipimpin oleh Saint Martin. Setelah itu, datang lagi pasukan dalam jumlah yang lebih besar di bawah pimpinan Kapten Tack.
Ingin memperkuat pasukan, VOC mengirimkan lagi 1.000 prajurit tambahan yang dipimpin Hartsinck.
Menghadapi pasukan gabungan yang sedemikian banyak, pasukan Sultan Ageng terdesak mundur hingga terpaksa membumihanguska
n Istana Tirtayasa dan melarikan diri ke Hutan Keranggan.
Dari Keranggan, Sultan Ageng melanjutkan pelariannya ke Lebak, lalu ke Parijan, hingga akhirnya tiba di Sajira (Perbatasan Bogor).
Selama bersembunyi, Sultan Ageng diikuti oleh orang-orang yang setia padanya, seperti Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf.
Wafatnya SULTAN AGENG TIRTAYASA
Meski sudah berada jauh dari Istana Surasowan, rupanya keberadaan Sultan Ageng beserta pengawalnya diketahui Sultan Haji.
Sultan Haji lalu diperintahkan VOC untuk membujuk rayu sang ayah agar bersedia kembali ke Istana Surasowan. Tanpa curiga, Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah sepuh kembali ke Istana Surasowan sesuai permintaan putranya dan tiba di istana pada tanggal 14 Maret 1683 tengah malam.
Tak lama setelah itu, VOC datang dan menangkap Sultan Ageng Tirtayasa untuk dipenjarakan di Batavia. Sang sultan kemudian wafat di dalam penjara pada tahun 1683.
Berdasarkan permintaan para petinggi Kesultanan Banten, jenazah Sultan Ageng dipulangkan ke kampung halamannya untuk kemudian di makamkan di sebelah utara Masjid Agung.(*)
Sumber : _
Kakek dari ibunya adalah Pangeran Jayakarta, dan kakek dari ayahnya adalah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang merupakan sultan ke-5 Banten.
Dari ayah dan ibu yang sama, Pangeran Surya memiliki empat saudara, yaitu Ratu Kulon, Pangeran Kilen, Pangeran Lor, dan Pangeran Arya.
Sedangkan dari ayah yang sama dan ibu yang berbeda, ia juga memiliki empat saudara, yaitu Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Intan, dan Ratu Timpuruk.
Pangeran Surya diangkat menjadi sultan muda pada 1650. Sebab ayahnya, Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Kanari, yang menjabat sebagai sultan muda selama periode 1640–1650, telah terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta.
Setelah satu tahun menjabat sebagai sultan muda yang bergelar Pangeran Adipati, ia dinobatkan sebagai sultan ke-6 Banten dan diberi gelar Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah. Sebab, sang kakek yang sebelumnya menjabat sebagai sultan ke-5 telah meninggal pada 10 Maret 1651.
Selama hidupnya, Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah pernah menikah sebanyak tiga kali. Namun, istri kedua dan ketiganya dinikahi setelah istri pertama meninggal dunia.
Nama istri pertama Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah tak diketahui karena tak terukir dalam sejarah, sedangkan istri kedua dan ketiganya bernama Nyi Ayu Ratu Gede dan Ratu Nengah.
Kebijakan SULTAN AGENG TIRTAYASA dan Perjuangannya Melawan VOC
1. Kebijakan Dalam Negeri
Untuk meningkatkan hasil pertanian Banten yang bisa berujung dengan kemakmuran masyarakat, Sultan Ageng membuka lahan-lahan persawahan baru.
Agar penduduk tak kesulitan untuk mengairi sawahnya, Sultan juga membangun sistem irigasi agar masyarakat tak perlu menunggu hujan untuk bercocok tanam.
Di bidang pendidikan, Sultan membangun pesantren-pesantren untuk memudahkan masyarakatnya yang ingin menimba ilmu keislaman. Di bidang keagamaan pun demikian, Sultan membangun banyak masjid agar masyarakatnya bisa melaksanakan ibadah di tempat yang layak.
Sedangkan untuk pemerintahannya, Sultan ingin agar nuansa keislaman tetap terpancar di Kesultanan Banten. Oleh sebab itu, ia sampai mengangkat Syekh Yusuf, ulama yang didatangkan dari Makassar, untuk menjadi mufti (ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat) dan menjadi penasehatnya dalam menentukan segala keputusan.
2. Kebijakan Luar Negeri
Untuk kebijakan luar negerinya, Sultan Ageng berani mengambil langkah tegas dengan tak melanjutkan perjanjian dagang dengan VOC. Padahal, perjanjian tersebut sudah ada sejak tahun 1645, yaitu dimulai masa pemerintahan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, kakek Sultan Ageng.
Bukan hanya tak mau melanjutkan perjanjian dagang, Sultan Ageng juga dengan berani berusaha menghalang-halangi VOC untuk berdagang di Banten.
Gara-gara kebijakan-kebijakan yang diterapkan Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah ini, VOC marah sehingga pelabuhan Banten di blokade, dan pedagang-pedagang yang tadinya berlabuh di Banten dipaksa untuk berlabuh di Batavia.
Tak terima, Sultan Ageng mulai menyerang VOC dengan cara membakar kebun-kebun tebu dan alat penggilingan milik VOC. Tak hanya itu, Sultan juga memerintahkan pasukannya untuk membakar kampung yang menjadi pos pertahanan VOC.
Mendapat perlawanan yang demikian, VOC tak tinggal diam.
Mereka berusaha memperkuat pertahanan di daerah Angke yang pernah di serang Sultan Ageng, dan juga perbatasan Tangerang-Jakarta. Ya, perang antara Banten dan VOC yang terjadi sepanjang tahun 1656 itu walaupun tidak terbilang besar, tapi tetap menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak.
Sultan Ageng sadar bahwa perlawanannya terhadap VOC kurang membawa hasil yang gemilang dan terlalu berisiko jika dilakukan sendiri. Oleh karenanya, ia juga berupaya menjalin persahabatan dengan kerajaan lain yang sama-sama menentang VOC.
Sedangkan untuk hubungan kerja sama antar kerajaan yang telah terjalin, sang sultan berusaha untuk memperkokohnya. Nah, dari sekian banyak kerajaan yang diajak bekerja sama, beberapa di antaranya, yaitu Cirebon, dan Gowa.
Perjanjian Damai Dengan VOC
Setelah sebelumnya gencar berperang, akhirnya pada akhir tahun 1657, Kesultanan Banten dan VOC sepakat untuk melakukan perjanjian damai.
VOC mengusulkan agar orang-orang VOC dari Batavia, termasuk yang sudah disunat (memeluk Islam), yang ditahan di Banten dikembalikan. Sedangkan Banten mengajukan syarat agar diizinkan berdagang ke Ambon, Perak, dan Makassar.
Namun, pada 29 April 1658, VOC mengajukan syarat damai tambahan yang isinya menyatakan bahwa Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan 1.500 ekor lembu, kapal VOC yang berlabuh di Banten tidak diperiksa, dan VOC tidak membayar bea cukai untuk kapalnya yang lewat perairan dan berlabuh di Banten.
Karena VOC mengajukan syarat tambahan, pada 4 Mei 1658, Sultan Ageng juga mengajukan syarat tambahan yang menyatakan bahwa pasukan Kesultanan Banten harus diizinkan datang ke Batavia tiap setahun sekali untuk membeli meriam, peluru, mesiu, dan cengkih. Namun, VOC tak bersedia mengabulkan syarat dari Kesultanan Banten sehingga kesepakatan damai pun berakhir.
Oleh sebab itu, pada 11 Mei 1658, Sultan mengumumkan peperangan terhadap VOC dengan cara menyerang dan menghancurkan kapal VOC hingga merebut daerah Angke yang saat itu dikuasai VOC. Untuk membuat para prajuritnya bersemangat melawan VOC, ia sampai menjanjikan hadiah berlimpah berupa kedudukan dan uang untuk siapa saja yang berhasil membunuh opsir VOC.
Serangan yang terus dilancarkan pihak Kesultanan Banten membuat VOC lelah. Ujung-ujungnya, mereka kembali menawarkan perjanjian damai lewat perantara Sultan Jambi.
Perjanjian damai yang berisi enam syarat tersebut disetujui Sultan Ageng pada 10 Juli 1659. Meski sebenarnya, sang sultan merasa kurang puas karena tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa Banten bebas berdagang dengan Ambon.
Kesepakatan damai bersama VOC sudah ditandatangani, tapi Sultan Ageng paham bahwa VOC sangat licik sehingga kemungkinan mereka menyerang tiba-tiba tetap ada.
Oleh sebab itu, Sultan Ageng yang selama ini tinggal di Surasowan, membangun istana lagi di daerah Tirtayasa (sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang) yang dimaksudkan sebagai benteng pertahanan.
Politik Adu Domba yang Berujung Perseteruan Dengan Sultan Haji
Meski memiliki persenjataan yang canggih, VOC paham bahwa kekuatan pasukan Kesultanan Banten tak bisa diremehkan. Oleh sebab itu, mereka melancarkan politik adu domba untuk mengobrak-abrik keluarga sultan dari dalam. Jadi, Kesultanan Banten akan kacau dengan sendirinya tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Ya, mereka menemukan celah lewat Sultan Haji.
Sebagai seorang sultan, sesuai tradisi, Sultan Ageng mengangkat putra sulungnya, Pangeran Gusti, menjadi sultan muda dengan gelar Pangeran Anom. Kemudian, Sultan Ageng meminta Pangeran Anom pergi ke Makkah untuk lebih memperdalam ajaran Islam. Sedangkan tugas-tugas sultan muda, untuk sementara digantikan oleh Pangeran Purbaya, adik Pangeran Anom.
Melihat kesuksesan sang adik dalam melaksanakan tugas sultan muda, membuat Pangeran Anom yang saat itu baru pulang dari Makkah merasa takut jika tahta akan diserahkan pada Pangeran Purbaya. Untuk mencegah hal tersebut, Pangeran Anom memaksa Sultan Ageng untuk menyerahkan tahta padanya.
Tidak ingin menimbulkan keributan, pada 1671, Sultan Ageng menyerahkan urusan sehari-hari Kesultanan Banten kepada Pangeran Anom.
Setelah diangkat menjadi sultan, Pangeran Anom diberi gelar Sultan Abu Nashar Abdul Qahar yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji. Sejak saat itu, Sultan Ageng lebih memilih untuk tinggal di Istana Tirtayasa, sedangkan Istana Surasowan ditempati oleh Sultan Haji.
Tindakan Sultan Haji yang tidak sopan terhadap ayahnya sendiri sebenarnya bukan tanpa alasan.
Di balik itu, ada VOC yang melihat bahwa Sultan Haji adalah orang yang lemah hati dan mudah dipengaruhi. Jadi, mereka semakin mengobarkan rasa iri yang ada di benak Sultan Haji terhadap Pangeran Purbaya.
Peperangan Antara Ayah dan Anak
Seiring berjalannya waktu, Sultan Ageng menyadari bahwa putranya telah dipengaruhi oleh VOC.
Pada puncaknya, Sultan Ageng benar-benar kesal karena Sultan Haji mengirimkan ucapan selamat atas pengangkatan Rijklof van Goens menjadi Gubernur Jenderal menggantikan Jovan Maetsuyker yang meninggal dunia pada 4 Januari 1678.
Tak ingin bahwa penerusnya malah bekerja sama dengan musuh, Sultan Ageng memerintahkan pasukannya untuk menyerang Istana Surasowan yang ditempati Sultan Haji pada 26 Februari 1682. Akibat serangan yang mendadak itu, Sultan Haji terdesak dan melarikan diri untuk meminta bantuan VOC.
Karena prajurit VOC yang ada di Banten kewalahan menangani pasukan Sultan Ageng, didatangkanlah dua kapal pasukan dari Batavia yang dipimpin oleh Saint Martin. Setelah itu, datang lagi pasukan dalam jumlah yang lebih besar di bawah pimpinan Kapten Tack.
Ingin memperkuat pasukan, VOC mengirimkan lagi 1.000 prajurit tambahan yang dipimpin Hartsinck.
Menghadapi pasukan gabungan yang sedemikian banyak, pasukan Sultan Ageng terdesak mundur hingga terpaksa membumihanguska
n Istana Tirtayasa dan melarikan diri ke Hutan Keranggan.
Dari Keranggan, Sultan Ageng melanjutkan pelariannya ke Lebak, lalu ke Parijan, hingga akhirnya tiba di Sajira (Perbatasan Bogor).
Selama bersembunyi, Sultan Ageng diikuti oleh orang-orang yang setia padanya, seperti Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf.
Wafatnya SULTAN AGENG TIRTAYASA
Meski sudah berada jauh dari Istana Surasowan, rupanya keberadaan Sultan Ageng beserta pengawalnya diketahui Sultan Haji.
Sultan Haji lalu diperintahkan VOC untuk membujuk rayu sang ayah agar bersedia kembali ke Istana Surasowan. Tanpa curiga, Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah sepuh kembali ke Istana Surasowan sesuai permintaan putranya dan tiba di istana pada tanggal 14 Maret 1683 tengah malam.
Tak lama setelah itu, VOC datang dan menangkap Sultan Ageng Tirtayasa untuk dipenjarakan di Batavia. Sang sultan kemudian wafat di dalam penjara pada tahun 1683.
Berdasarkan permintaan para petinggi Kesultanan Banten, jenazah Sultan Ageng dipulangkan ke kampung halamannya untuk kemudian di makamkan di sebelah utara Masjid Agung.(*)
Sumber : _