Selama abad 11 Lasem merupakan kota besar sepanjang garis pantura yang dikenal pada zamannya sebagai Petit Chinois atau “Tiongkok kecil” karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan Tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem.
Lasem, merupakan satu tempat berkembangnya para imigran dari Tiongkok terbesar di Pulau Jawa abad ke-14 sampai 15 adalah Lasem (Lao Sam) selain di Sampotoalang (Semarang) dan Ujung Galuh (Surabaya).
Selain Tiongkok Kecil, Lasem dijuluki sebagai “Beijing Kecil”. Entah dari mana julukan ini muncul namun nyatanya ada pro dan kontra di kalangan warga Pecinan Lasem. Warga yang kurang setuju dengan julukan “Tiongkok Kecil” lebih suka menyebut kawasan itu dengan nama ‘Pecinan Lasem tempo dulu."
Selain itu Lasem juga dijuluki sebagai "Kota Pusaka" karena banyaknya kisah warisan sejarah masa lalu yang membingkai Lasem. Kawasan ini memiliki keanekaragaman budaya, Hindu, Budha, Islam, Jawa.
Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kama(la) dan Beka(sem). Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya.
Versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, adapun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam dalam bahasa Cina.
Pada masa Kutha Lasem dipimpin oleh Akuwu Mpu Metthabadra pada tahun 1345 M keadaan Lasem masih aman dan tenteram. Tidak ada negeri lain yang menjajahnya.
Baru pada masa Wilwatikta diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk, Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Patih Arya Gajah (Gajah Mada?) dan Lasem berada di bawah imperium Majapahit.
Kemudian pemerintahan Kerajaan Lasem diserahkan kepada Indudewi /adik ipar Hayam Wuruk (putri Rajadewi) dia diwisuda sebagai Raja dengan gelar Bhre Lasem pada tahun 1351 M.
Menurut naskah Veda Badra Santi (MpuSantibadra) maupun Kitab Carita Lasem (MpuPanji Karsono), urutan raja-raja Lasem adalah sebagai berikut.
1. Bhre Lasem Duhita Indu Dewi (Dewi Indu Purnamawulan), raja pertama Kerajaan Lasem
2. Pangeran Badrawardana, dia adalah putra Bhre Lasem Duhita Indu Dewi dan Bhre Mataun Rajasawardana
3. Pangeran Wijayabadra, putra Pangeran Badrawardana
4. Pangeran Badranala, putra Pangeran Wijayabadra
5. Pangeran Wirabajra, putra Pangeran Badranala dan Putri Cempo Bi Nang Ti, pusat pemerintahan dipindah di Bhumi Bonang Binangun.
6. Pangeran Wiranagara, putra PangeranWirabajra, ia juga menantu Sunan Ampel. Pada saat Pangeran Wiranagara wafat, pemerintahan dipegang oleh istrinya yaitu:
7. Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel dan pusat pemerintahan dipindah kembali ke Bhumi Lasem depan Puri Kriyan dengan gelar Adipati Lasem. Ia dibantu oleh sanak saudara dari pihak suami, Pangeran Santipuspa putra Tumenggung Wilwatikta Mpu Santibadra.
Dikisahkan pada kira-kira tahun Syaka 1335 (1413 Masehi), ada salah seorang Dhang Puhawang/Laksamana dari kerajaan Cempa yang bernama Bi Nang Un beserta keluarga dan orang-orang warga dari negerinya datang di Lasem, berlabuh, mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Regol.
Setahun sebelum kedatangan mereka di Lasem, Bi Nang Un telah terlebih dulu datang di Lasem dengan ikut berlayar menjelajah dunia bersama Dhang Puhawang (Laksamana) Cheng Ho dari negara Tiongkok.
Setelah meminta izin dan pamit kepada Dhang Puhawang Cheng Ho dan juga mendapatkan restu dari Pangeran Wijayabadra selaku Adipati Lasem tetapi dengan syarat jika kepindahannya beserta keluarga dan warga-warga lain dari Cempa dengan membawa banyak benda atau tanaman-tanaman dari Cempa tidak ada di Jawa.
Seperti; Pari Campa Klewer (Padi Campa), Ketan Ireng (ketan hitam), pelem blungkow (mangga blungkow), Tebu Limpow, Delimow (delima), Pitik Cempow (ayam Campa), merak ulese biru (burung merak berbulu biru), serta orang-orang yang ahli di bidang kesenian.
Orang-orang dari Campa pintar sekali membuat Slepi (wadah tembakau) dari bulu merak, pintar membatik, membuat perhiasan dari emas, menari dan membuat gamelan dan generasi mudanya entah laki-laki atau perempuan pasti bisa menari dan menabuh gamelan untuk upacara-upacara pemujaan dalam agama Buddha.
Pada masa-masa inilah, lahir Batik Lasem yang sampai sekarang menjadi ikon batik pesisiran khas Lasem yang kaya akan perpaduan unsur-unsur budaya dengan warna yang khas dan motif yang unik.
Bi Nang Un mempuyai 2 orang putra, lelaki bernama Bi Nang Na, dan yang perempuan bernama Bi Nang Ti (Putri Campa)
Pangeran Badranala menikah dengan Bi Nang Ti (Putri Campa) dan mempuyai 2 orang putra Pangeran Wirabadja dan Pangeran Santi Badjra.
Putri Bi Nang Ti setelah menikah dengan Pangeran Badranala namanya diganti menjadi Winarti Kusuma Wardhani.
Pada tahun 1468 M Pangeran Badranala meninggal, dengan meninggalkan wasiat kepada anaknya :
a. Supaya abu layonya di makamkan kumpul dengan istrinya di Puntuk Regol.
b. Supaya putranya yang bernama P. Wirabadjra pindah ke Bonang.
c. Supaya rakyat nanti diperbolehkan memeluk agama Islam.
Selanjutnya yang menjadi dan menduduki Adipati Lasem ialah Pangeran Wirabadjra.
Pangeran Wirabadjra menjadi adipati pada tahun 1470 M. Ia tidak bertempat tinggal di Pura Kriyan, tetapi pindah di bumi Bonang Binangun, dekat makam orang tuanya di Puntuk Regol. Adapun Pura Kriyan ditempati adiknya yang bernama Pangeran Santi Badjra.
Ketika Pangeran Wirabadjra membangun dan berkuasa di Kadipaten Binangun, masyarakat nelayan yang biasa berlayar ke Tuban Gresik dan Ngampel sudah memeluk Agama Rasul (Islam).
Pangeran Wirabadjra berputra Pangeran Wiranagara, yang pada waktu kecilnya sudah berguru ke Ngampel, dan akhirnya menikah dengan putra pertama Maulana Rahmat Sunan Ngampel yang bernama Nyi Ageng Maloka.
Setelah Pangeran Wirabadjra meninggal, diganti oleh putranya yang bernama Pangeran Wiranagara. Ia menjadi Adipati hanya 5 tahun.
Pangeran Wiranagara yang menikah dengan putri Nyi Ageng Maloka mempunyai 2 putra :
a. Solehah (istri P. Aria Tun Bun Nahkoda Demak) dan
b. Seorang anak yang mati etika masih bayi.
Tahun 1479 M Pangeran Wiranagara meninggal, pemerintahan Kadipaten Binangun dipegang oleh Nyi Ageng Maloka (janda P. Wiranegara) yang masih berumur 28 tahun.
Tahun 1480 M, Kadipaten Binangun dipindah ke Lasem oleh Nyi Ageng Maloka dan bertempat di Bumi Cologawan berhadapan dengan rumah kepanggenan Kriyan yang ditempati oleh Pangeran Santi Puspa.
Rumah Kadipaten Nyi Ageng Maloka menghadap ke selatan sebelah utara jalan besar, banyak pohon sawo kecil dan kembang kantil.
Adapun bekas kadipaten Bonang, disuruh menempati adiknya yang bernama R. Makdum Ibrahim (putra R. Rahmat).
Makdum Ibrahim adalah seorang jejaka yang bertugas sebagai guru ngaji dan Modin.
Ketika berumur 30 tahun, beliau diwisuda oleh Sunan Agung Ngampel sebagai wali Negara Tuban, dalam hal keagamaan dan ketauhidan dengan pangkat Sunan, dan menempati bekas ndalem/rumah kakaknya Nyi Ageng Maloka.
Di Bonang, Makdum Ibrahim bertugas pula menjaga dan mengawasi makam Putri Campa (Bi Nang Ti) sekalian di Puntuk Regol, dan makam P. Wirabadjra serta P. Wira Negar di Bumi Keben.
Batu yang terdapat di makam Putri Campa diratakan, batunya digunakan untuk sujud (pasujudan).
Nyi Ageng Maloka memindahkan Kadipaten Binangun ke Lasem dengan maksud :
a. Mendekati P. Sati Puspa, untuk digunakan benteng pengayoman dan penasehat di dalam memegang pusat pemerintahan Lasem.
b. Mengingat bahwa P. Sati Puspa adalah seorang yang dicintai dan disegani oleh masyarakat Lasem, dan warga nelayan dari pesisir Demak sampai Sedayu.
c. Supaya hatinya terhibur sebab ditinggal mati anaknya dan ditinggal anaknya Solehah yang dibawa suaminya ke Demak yang bernama Aria Tum Bun.
Untuk menghibur hatinya, Nyi Ageng Maloka membuat gedung dan pertamanan yang diberi nama Taman Setya Tresna, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Caruban.
Setelah Makdum Ibrahim menjadi Wali, beliau bertambah giat didalam menyiarkan agama Islam dari Lasem sampai Tuban.
Sebaliknya Nyi Ageng Maloka karena selalu bergaul dengan P. Sati Puspa malah termakan oleh ilmu dan wejangannya, sehingga ia berani meninggalkan shalat dan puasa, sehingga Sunan Bonang kecewa dan tidak mentaati perintah Nyi Ageng Maloka untuk menjaga makam Putri Campa dan makam Keben. Selanjutnya pulang ke Pranggakan Tuban sampai berbulan-bulan.
Nyi Ageng Maloka menjadi janda sampai umur 39 tahun dan memegang pemerintahan dalam keadaan aman dan tenteram atas bantuan Pangeran Santi Puspa.
Setelalah Nyi Ageng Maloka meninggal, kekuasaan Kadipaten Lasem dirangkap oleh Pangeran Santi Puspa dengan dibantu oleh adiknya yang bernama Pangeran Santi Yoga yang diperintahkan menempati Kadipaten Cologawan.
Karena ditinggal ayahnya ke Majapahit, Pangeran Sati Puspa yang lahir sekitar tahun 1451 M, ketika berumur 18 tahun, diutus ayahnya menempati rumah Pura Kriyan bersama ibunya beserta adik-adiknya yang berjumlah 9 orang. Hingga umur 39 tahun ia belum mau kawin dahulu sebelum adik-adiknya kawin. Salah satu adiknya adalah Pangeran Santi Kusuma.
Santi Kusuma lahir tahun 1468 M. Umur 1 tahun ditinggal pergi ayahnya ke Majapahit selama 10 tahun, umur 2 tahun ditinggal mati ibunya.
Santi Kusuma kerapkali diajak kakaknya berlayar dan sowan Eyangnya yang bernama Sunan Bejagung ke Tuban. Sunan Bejagung adalah Adipati Tuban.
Umur 19 tahun Santi Kusuma masuk Islam dengan nama R. Mas Said (Pangeran Lokawijaya) dan sangat erat hubungannya dengan Sunan Bonang.
Pangeran Sati Puspa berputra Pangeran Kusuma Badra. Pangeran Kusuma Badra berputra Pangeran Santi Wira. Santi Wira berputra P. Tedjakusuma I. Pangeran Tedjakusuma I menurunkan P. Tedjakusuma II-III-IV-V.
Pangeran Tedjakusuma I menikah dengan putri Sultan Pajang dan diangkat menjadi Adipati Lasem tahun 1585 M.
Tedjakusuma V menurunkan R. Panji Margana (Ki Ageng Tulbaya) R. Panji menurunkan R. P. Witono, R. Witono menurunkan R. P. Khamzah.
Tedjakusuma I, pada tahun 1588 M mendirikan Masjid Lasem, bertempat di sebelah barat alun-alun.
Tedjakusuma I adalah seorang pertapa di Puntuk Punggur. Dan ketika masih kecil diberi parap (gelar) ibunya Bagus Serimpet.
Untuk menyebarkan agama Islam di Lasem, Tedjakusuma I mendatangkan seorang guru dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi pada tahun 1625 M, dan pada akhirnya Syeh Sam Bua diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa selir.
Tedjakusuma I, alias Ky. Ageng Punggur alias Bagus Serimpet wafat pada tahun 1632 M dalam usia 77 tahun, dimakamkan di belakang Masjid Kota Lasem dibelakang imaman.
Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun dimakamkan di sebelah utara serambi masjid kota Lasem.
Pada tahun 1679, Lasem sebagai Bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin mendapatkan monopoli perdagangan dipesisir pantai utara Jawa. VOC dibantu oleh Sunan Amangkurat II akhirnya dapat menaklukan Lasem setelah melalui peperangan yang berlangsung lama dan berlarut-larut.
Hal ini akhirnya menimbulkan kebencian warga Lasem ( Warga Pribumi maupun Tionghoa telah membaur waktu itu ) terhadap Belanda maupun penguasa Mataram sebagai boneka VOC.
Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwono I mengangkat Pangeran Tejakusuma V menjadi Adipati Lasem. Ia tak menyukai Sunan Pakubowono I maupun penggantinya yaitu Sunan Pakubowono II yang sangat erat dengan VOC.
Diam-diam beliau banyak membantu Arya Mataram dan Prabu Purbaya melawan VOC dan Penguasa Mataram.
Setelah pemberontakan terhadap Mataram semakin surut maka pada tahun 1727 Prabu Tejakusuma V mengundurkan diri dengan alasan kesehatan.
Putranya Raden Panji Margana tidak berkeinginan menjadi Adipati Lasem, ia lebih memilih menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran.
Akhirnya jabatan Bupati Lasem diserahkan kepada sahabat karibnya yang bernama Oey Ing Kiat seorang Pengusaha Tionghoa Islam yang sangat kaya, pengusaha pelayaran yang mempunyai banyak sekali jung dan perahu antar pulau.
Oey Ing Kiat dilantik menjadi Adipati Lasem pada tahuan 1727 oleh Sunan Pakubowono II dan diberi gelar Tumenggung Widyaningrat.
Pada tahun 1740 , akibat pembantaian orang Tionghoa di Batavia, kurang lebih 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di Lasem sehingga penduduk Tionghoa Lasem naik hampir dua kali lipat. merupakan kota besar sepanjang garis pantura yang dikenal pada zamannya sebagai Petit Chinois atau “Tiongkok kecil” karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan Tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem.
Lasem, merupakan satu tempat berkembangnya para imigran dari Tiongkok terbesar di Pulau Jawa abad ke-14 sampai 15 adalah Lasem (Lao Sam) selain di Sampotoalang (Semarang) dan Ujung Galuh (Surabaya).
Selain Tiongkok Kecil, Lasem dijuluki sebagai “Beijing Kecil”. Entah dari mana julukan ini muncul namun nyatanya ada pro dan kontra di kalangan warga Pecinan Lasem. Warga yang kurang setuju dengan julukan “Tiongkok Kecil” lebih suka menyebut kawasan itu dengan nama ‘Pecinan Lasem tempo dulu."
Selain itu Lasem juga dijuluki sebagai "Kota Pusaka" karena banyaknya kisah warisan sejarah masa lalu yang membingkai Lasem. Kawasan ini memiliki keanekaragaman budaya, Hindu, Budha, Islam, Jawa.
Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kama(la) dan Beka(sem). Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya.
Versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, adapun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam dalam bahasa Cina.
Pada masa Kutha Lasem dipimpin oleh Akuwu Mpu Metthabadra pada tahun 1345 M keadaan Lasem masih aman dan tenteram. Tidak ada negeri lain yang menjajahnya.
Baru pada masa Wilwatikta diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk, Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Patih Arya Gajah (Gajah Mada?) dan Lasem berada di bawah imperium Majapahit.
Kemudian pemerintahan Kerajaan Lasem diserahkan kepada Indudewi /adik ipar Hayam Wuruk (putri Rajadewi) dia diwisuda sebagai Raja dengan gelar Bhre Lasem pada tahun 1351 M.
Menurut naskah Veda Badra Santi (MpuSantibadra) maupun Kitab Carita Lasem (MpuPanji Karsono), urutan raja-raja Lasem adalah sebagai berikut.
1. Bhre Lasem Duhita Indu Dewi (Dewi Indu Purnamawulan), raja pertama Kerajaan Lasem
2. Pangeran Badrawardana, dia adalah putra Bhre Lasem Duhita Indu Dewi dan Bhre Mataun Rajasawardana
3. Pangeran Wijayabadra, putra Pangeran Badrawardana
4. Pangeran Badranala, putra Pangeran Wijayabadra
5. Pangeran Wirabajra, putra Pangeran Badranala dan Putri Cempo Bi Nang Ti, pusat pemerintahan dipindah di Bhumi Bonang Binangun.
6. Pangeran Wiranagara, putra PangeranWirabajra, ia juga menantu Sunan Ampel. Pada saat Pangeran Wiranagara wafat, pemerintahan dipegang oleh istrinya yaitu:
7. Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel dan pusat pemerintahan dipindah kembali ke Bhumi Lasem depan Puri Kriyan dengan gelar Adipati Lasem. Ia dibantu oleh sanak saudara dari pihak suami, Pangeran Santipuspa putra Tumenggung Wilwatikta Mpu Santibadra.
Dikisahkan pada kira-kira tahun Syaka 1335 (1413 Masehi), ada salah seorang Dhang Puhawang/Laksamana dari kerajaan Cempa yang bernama Bi Nang Un beserta keluarga dan orang-orang warga dari negerinya datang di Lasem, berlabuh, mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Regol.
Setahun sebelum kedatangan mereka di Lasem, Bi Nang Un telah terlebih dulu datang di Lasem dengan ikut berlayar menjelajah dunia bersama Dhang Puhawang (Laksamana) Cheng Ho dari negara Tiongkok.
Setelah meminta izin dan pamit kepada Dhang Puhawang Cheng Ho dan juga mendapatkan restu dari Pangeran Wijayabadra selaku Adipati Lasem tetapi dengan syarat jika kepindahannya beserta keluarga dan warga-warga lain dari Cempa dengan membawa banyak benda atau tanaman-tanaman dari Cempa tidak ada di Jawa.
Seperti; Pari Campa Klewer (Padi Campa), Ketan Ireng (ketan hitam), pelem blungkow (mangga blungkow), Tebu Limpow, Delimow (delima), Pitik Cempow (ayam Campa), merak ulese biru (burung merak berbulu biru), serta orang-orang yang ahli di bidang kesenian.
Orang-orang dari Campa pintar sekali membuat Slepi (wadah tembakau) dari bulu merak, pintar membatik, membuat perhiasan dari emas, menari dan membuat gamelan dan generasi mudanya entah laki-laki atau perempuan pasti bisa menari dan menabuh gamelan untuk upacara-upacara pemujaan dalam agama Buddha.
Pada masa-masa inilah, lahir Batik Lasem yang sampai sekarang menjadi ikon batik pesisiran khas Lasem yang kaya akan perpaduan unsur-unsur budaya dengan warna yang khas dan motif yang unik.
Bi Nang Un mempuyai 2 orang putra, lelaki bernama Bi Nang Na, dan yang perempuan bernama Bi Nang Ti (Putri Campa)
Pangeran Badranala menikah dengan Bi Nang Ti (Putri Campa) dan mempuyai 2 orang putra Pangeran Wirabadja dan Pangeran Santi Badjra.
Putri Bi Nang Ti setelah menikah dengan Pangeran Badranala namanya diganti menjadi Winarti Kusuma Wardhani.
Pada tahun 1468 M Pangeran Badranala meninggal, dengan meninggalkan wasiat kepada anaknya :
a. Supaya abu layonya di makamkan kumpul dengan istrinya di Puntuk Regol.
b. Supaya putranya yang bernama P. Wirabadjra pindah ke Bonang.
c. Supaya rakyat nanti diperbolehkan memeluk agama Islam.
Selanjutnya yang menjadi dan menduduki Adipati Lasem ialah Pangeran Wirabadjra.
Pangeran Wirabadjra menjadi adipati pada tahun 1470 M. Ia tidak bertempat tinggal di Pura Kriyan, tetapi pindah di bumi Bonang Binangun, dekat makam orang tuanya di Puntuk Regol. Adapun Pura Kriyan ditempati adiknya yang bernama Pangeran Santi Badjra.
Ketika Pangeran Wirabadjra membangun dan berkuasa di Kadipaten Binangun, masyarakat nelayan yang biasa berlayar ke Tuban Gresik dan Ngampel sudah memeluk Agama Rasul (Islam).
Pangeran Wirabadjra berputra Pangeran Wiranagara, yang pada waktu kecilnya sudah berguru ke Ngampel, dan akhirnya menikah dengan putra pertama Maulana Rahmat Sunan Ngampel yang bernama Nyi Ageng Maloka.
Setelah Pangeran Wirabadjra meninggal, diganti oleh putranya yang bernama Pangeran Wiranagara. Ia menjadi Adipati hanya 5 tahun.
Pangeran Wiranagara yang menikah dengan putri Nyi Ageng Maloka mempunyai 2 putra :
a. Solehah (istri P. Aria Tun Bun Nahkoda Demak) dan
b. Seorang anak yang mati etika masih bayi.
Tahun 1479 M Pangeran Wiranagara meninggal, pemerintahan Kadipaten Binangun dipegang oleh Nyi Ageng Maloka (janda P. Wiranegara) yang masih berumur 28 tahun.
Tahun 1480 M, Kadipaten Binangun dipindah ke Lasem oleh Nyi Ageng Maloka dan bertempat di Bumi Cologawan berhadapan dengan rumah kepanggenan Kriyan yang ditempati oleh Pangeran Santi Puspa.
Rumah Kadipaten Nyi Ageng Maloka menghadap ke selatan sebelah utara jalan besar, banyak pohon sawo kecil dan kembang kantil.
Adapun bekas kadipaten Bonang, disuruh menempati adiknya yang bernama R. Makdum Ibrahim (putra R. Rahmat).
Makdum Ibrahim adalah seorang jejaka yang bertugas sebagai guru ngaji dan Modin.
Ketika berumur 30 tahun, beliau diwisuda oleh Sunan Agung Ngampel sebagai wali Negara Tuban, dalam hal keagamaan dan ketauhidan dengan pangkat Sunan, dan menempati bekas ndalem/rumah kakaknya Nyi Ageng Maloka.
Di Bonang, Makdum Ibrahim bertugas pula menjaga dan mengawasi makam Putri Campa (Bi Nang Ti) sekalian di Puntuk Regol, dan makam P. Wirabadjra serta P. Wira Negar di Bumi Keben.
Batu yang terdapat di makam Putri Campa diratakan, batunya digunakan untuk sujud (pasujudan).
Nyi Ageng Maloka memindahkan Kadipaten Binangun ke Lasem dengan maksud :
a. Mendekati P. Sati Puspa, untuk digunakan benteng pengayoman dan penasehat di dalam memegang pusat pemerintahan Lasem.
b. Mengingat bahwa P. Sati Puspa adalah seorang yang dicintai dan disegani oleh masyarakat Lasem, dan warga nelayan dari pesisir Demak sampai Sedayu.
c. Supaya hatinya terhibur sebab ditinggal mati anaknya dan ditinggal anaknya Solehah yang dibawa suaminya ke Demak yang bernama Aria Tum Bun.
Untuk menghibur hatinya, Nyi Ageng Maloka membuat gedung dan pertamanan yang diberi nama Taman Setya Tresna, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Caruban.
Setelah Makdum Ibrahim menjadi Wali, beliau bertambah giat didalam menyiarkan agama Islam dari Lasem sampai Tuban.
Sebaliknya Nyi Ageng Maloka karena selalu bergaul dengan P. Sati Puspa malah termakan oleh ilmu dan wejangannya, sehingga ia berani meninggalkan shalat dan puasa, sehingga Sunan Bonang kecewa dan tidak mentaati perintah Nyi Ageng Maloka untuk menjaga makam Putri Campa dan makam Keben. Selanjutnya pulang ke Pranggakan Tuban sampai berbulan-bulan.
Nyi Ageng Maloka menjadi janda sampai umur 39 tahun dan memegang pemerintahan dalam keadaan aman dan tenteram atas bantuan Pangeran Santi Puspa.
Setelalah Nyi Ageng Maloka meninggal, kekuasaan Kadipaten Lasem dirangkap oleh Pangeran Santi Puspa dengan dibantu oleh adiknya yang bernama Pangeran Santi Yoga yang diperintahkan menempati Kadipaten Cologawan.
Karena ditinggal ayahnya ke Majapahit, Pangeran Sati Puspa yang lahir sekitar tahun 1451 M, ketika berumur 18 tahun, diutus ayahnya menempati rumah Pura Kriyan bersama ibunya beserta adik-adiknya yang berjumlah 9 orang. Hingga umur 39 tahun ia belum mau kawin dahulu sebelum adik-adiknya kawin. Salah satu adiknya adalah Pangeran Santi Kusuma.
Santi Kusuma lahir tahun 1468 M. Umur 1 tahun ditinggal pergi ayahnya ke Majapahit selama 10 tahun, umur 2 tahun ditinggal mati ibunya.
Santi Kusuma kerapkali diajak kakaknya berlayar dan sowan Eyangnya yang bernama Sunan Bejagung ke Tuban. Sunan Bejagung adalah Adipati Tuban.
Umur 19 tahun Santi Kusuma masuk Islam dengan nama R. Mas Said (Pangeran Lokawijaya) dan sangat erat hubungannya dengan Sunan Bonang.
Pangeran Sati Puspa berputra Pangeran Kusuma Badra. Pangeran Kusuma Badra berputra Pangeran Santi Wira. Santi Wira berputra P. Tedjakusuma I. Pangeran Tedjakusuma I menurunkan P. Tedjakusuma II-III-IV-V.
Pangeran Tedjakusuma I menikah dengan putri Sultan Pajang dan diangkat menjadi Adipati Lasem tahun 1585 M.
Tedjakusuma V menurunkan R. Panji Margana (Ki Ageng Tulbaya) R. Panji menurunkan R. P. Witono, R. Witono menurunkan R. P. Khamzah.
Tedjakusuma I, pada tahun 1588 M mendirikan Masjid Lasem, bertempat di sebelah barat alun-alun.
Tedjakusuma I adalah seorang pertapa di Puntuk Punggur. Dan ketika masih kecil diberi parap (gelar) ibunya Bagus Serimpet.
Untuk menyebarkan agama Islam di Lasem, Tedjakusuma I mendatangkan seorang guru dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi pada tahun 1625 M, dan pada akhirnya Syeh Sam Bua diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa selir.
Tedjakusuma I, alias Ky. Ageng Punggur alias Bagus Serimpet wafat pada tahun 1632 M dalam usia 77 tahun, dimakamkan di belakang Masjid Kota Lasem dibelakang imaman.
Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun dimakamkan di sebelah utara serambi masjid kota Lasem.
Pada tahun 1679, Lasem sebagai Bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin mendapatkan monopoli perdagangan dipesisir pantai utara Jawa. VOC dibantu oleh Sunan Amangkurat II akhirnya dapat menaklukan Lasem setelah melalui peperangan yang berlangsung lama dan berlarut-larut.
Hal ini akhirnya menimbulkan kebencian warga Lasem ( Warga Pribumi maupun Tionghoa telah membaur waktu itu ) terhadap Belanda maupun penguasa Mataram sebagai boneka VOC.
Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwono I mengangkat Pangeran Tejakusuma V menjadi Adipati Lasem. Ia tak menyukai Sunan Pakubowono I maupun penggantinya yaitu Sunan Pakubowono II yang sangat erat dengan VOC.
Diam-diam beliau banyak membantu Arya Mataram dan Prabu Purbaya melawan VOC dan Penguasa Mataram.
Setelah pemberontakan terhadap Mataram semakin surut maka pada tahun 1727 Prabu Tejakusuma V mengundurkan diri dengan alasan kesehatan.
Putranya Raden Panji Margana tidak berkeinginan menjadi Adipati Lasem, ia lebih memilih menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran.
Akhirnya jabatan Bupati Lasem diserahkan kepada sahabat karibnya yang bernama Oey Ing Kiat seorang Pengusaha Tionghoa Islam yang sangat kaya, pengusaha pelayaran yang mempunyai banyak sekali jung dan perahu antar pulau.
Oey Ing Kiat dilantik menjadi Adipati Lasem pada tahuan 1727 oleh Sunan Pakubowono II dan diberi gelar Tumenggung Widyaningrat.
Pada tahun 1740 , akibat pembantaian orang Tionghoa di Batavia, kurang lebih 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di Lasem sehingga penduduk Tionghoa Lasem naik hampir dua kali lipat.
................ ....... .........
> > >
Lasem, merupakan satu tempat berkembangnya para imigran dari Tiongkok terbesar di Pulau Jawa abad ke-14 sampai 15 adalah Lasem (Lao Sam) selain di Sampotoalang (Semarang) dan Ujung Galuh (Surabaya).
Selain Tiongkok Kecil, Lasem dijuluki sebagai “Beijing Kecil”. Entah dari mana julukan ini muncul namun nyatanya ada pro dan kontra di kalangan warga Pecinan Lasem. Warga yang kurang setuju dengan julukan “Tiongkok Kecil” lebih suka menyebut kawasan itu dengan nama ‘Pecinan Lasem tempo dulu."
Selain itu Lasem juga dijuluki sebagai "Kota Pusaka" karena banyaknya kisah warisan sejarah masa lalu yang membingkai Lasem. Kawasan ini memiliki keanekaragaman budaya, Hindu, Budha, Islam, Jawa.
Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kama(la) dan Beka(sem). Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya.
Versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, adapun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam dalam bahasa Cina.
Pada masa Kutha Lasem dipimpin oleh Akuwu Mpu Metthabadra pada tahun 1345 M keadaan Lasem masih aman dan tenteram. Tidak ada negeri lain yang menjajahnya.
Baru pada masa Wilwatikta diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk, Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Patih Arya Gajah (Gajah Mada?) dan Lasem berada di bawah imperium Majapahit.
Kemudian pemerintahan Kerajaan Lasem diserahkan kepada Indudewi /adik ipar Hayam Wuruk (putri Rajadewi) dia diwisuda sebagai Raja dengan gelar Bhre Lasem pada tahun 1351 M.
Menurut naskah Veda Badra Santi (MpuSantibadra) maupun Kitab Carita Lasem (MpuPanji Karsono), urutan raja-raja Lasem adalah sebagai berikut.
1. Bhre Lasem Duhita Indu Dewi (Dewi Indu Purnamawulan), raja pertama Kerajaan Lasem
2. Pangeran Badrawardana, dia adalah putra Bhre Lasem Duhita Indu Dewi dan Bhre Mataun Rajasawardana
3. Pangeran Wijayabadra, putra Pangeran Badrawardana
4. Pangeran Badranala, putra Pangeran Wijayabadra
5. Pangeran Wirabajra, putra Pangeran Badranala dan Putri Cempo Bi Nang Ti, pusat pemerintahan dipindah di Bhumi Bonang Binangun.
6. Pangeran Wiranagara, putra PangeranWirabajra, ia juga menantu Sunan Ampel. Pada saat Pangeran Wiranagara wafat, pemerintahan dipegang oleh istrinya yaitu:
7. Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel dan pusat pemerintahan dipindah kembali ke Bhumi Lasem depan Puri Kriyan dengan gelar Adipati Lasem. Ia dibantu oleh sanak saudara dari pihak suami, Pangeran Santipuspa putra Tumenggung Wilwatikta Mpu Santibadra.
Dikisahkan pada kira-kira tahun Syaka 1335 (1413 Masehi), ada salah seorang Dhang Puhawang/Laksamana dari kerajaan Cempa yang bernama Bi Nang Un beserta keluarga dan orang-orang warga dari negerinya datang di Lasem, berlabuh, mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Regol.
Setahun sebelum kedatangan mereka di Lasem, Bi Nang Un telah terlebih dulu datang di Lasem dengan ikut berlayar menjelajah dunia bersama Dhang Puhawang (Laksamana) Cheng Ho dari negara Tiongkok.
Setelah meminta izin dan pamit kepada Dhang Puhawang Cheng Ho dan juga mendapatkan restu dari Pangeran Wijayabadra selaku Adipati Lasem tetapi dengan syarat jika kepindahannya beserta keluarga dan warga-warga lain dari Cempa dengan membawa banyak benda atau tanaman-tanaman dari Cempa tidak ada di Jawa.
Seperti; Pari Campa Klewer (Padi Campa), Ketan Ireng (ketan hitam), pelem blungkow (mangga blungkow), Tebu Limpow, Delimow (delima), Pitik Cempow (ayam Campa), merak ulese biru (burung merak berbulu biru), serta orang-orang yang ahli di bidang kesenian.
Orang-orang dari Campa pintar sekali membuat Slepi (wadah tembakau) dari bulu merak, pintar membatik, membuat perhiasan dari emas, menari dan membuat gamelan dan generasi mudanya entah laki-laki atau perempuan pasti bisa menari dan menabuh gamelan untuk upacara-upacara pemujaan dalam agama Buddha.
Pada masa-masa inilah, lahir Batik Lasem yang sampai sekarang menjadi ikon batik pesisiran khas Lasem yang kaya akan perpaduan unsur-unsur budaya dengan warna yang khas dan motif yang unik.
Bi Nang Un mempuyai 2 orang putra, lelaki bernama Bi Nang Na, dan yang perempuan bernama Bi Nang Ti (Putri Campa)
Pangeran Badranala menikah dengan Bi Nang Ti (Putri Campa) dan mempuyai 2 orang putra Pangeran Wirabadja dan Pangeran Santi Badjra.
Putri Bi Nang Ti setelah menikah dengan Pangeran Badranala namanya diganti menjadi Winarti Kusuma Wardhani.
Pada tahun 1468 M Pangeran Badranala meninggal, dengan meninggalkan wasiat kepada anaknya :
a. Supaya abu layonya di makamkan kumpul dengan istrinya di Puntuk Regol.
b. Supaya putranya yang bernama P. Wirabadjra pindah ke Bonang.
c. Supaya rakyat nanti diperbolehkan memeluk agama Islam.
Selanjutnya yang menjadi dan menduduki Adipati Lasem ialah Pangeran Wirabadjra.
Pangeran Wirabadjra menjadi adipati pada tahun 1470 M. Ia tidak bertempat tinggal di Pura Kriyan, tetapi pindah di bumi Bonang Binangun, dekat makam orang tuanya di Puntuk Regol. Adapun Pura Kriyan ditempati adiknya yang bernama Pangeran Santi Badjra.
Ketika Pangeran Wirabadjra membangun dan berkuasa di Kadipaten Binangun, masyarakat nelayan yang biasa berlayar ke Tuban Gresik dan Ngampel sudah memeluk Agama Rasul (Islam).
Pangeran Wirabadjra berputra Pangeran Wiranagara, yang pada waktu kecilnya sudah berguru ke Ngampel, dan akhirnya menikah dengan putra pertama Maulana Rahmat Sunan Ngampel yang bernama Nyi Ageng Maloka.
Setelah Pangeran Wirabadjra meninggal, diganti oleh putranya yang bernama Pangeran Wiranagara. Ia menjadi Adipati hanya 5 tahun.
Pangeran Wiranagara yang menikah dengan putri Nyi Ageng Maloka mempunyai 2 putra :
a. Solehah (istri P. Aria Tun Bun Nahkoda Demak) dan
b. Seorang anak yang mati etika masih bayi.
Tahun 1479 M Pangeran Wiranagara meninggal, pemerintahan Kadipaten Binangun dipegang oleh Nyi Ageng Maloka (janda P. Wiranegara) yang masih berumur 28 tahun.
Tahun 1480 M, Kadipaten Binangun dipindah ke Lasem oleh Nyi Ageng Maloka dan bertempat di Bumi Cologawan berhadapan dengan rumah kepanggenan Kriyan yang ditempati oleh Pangeran Santi Puspa.
Rumah Kadipaten Nyi Ageng Maloka menghadap ke selatan sebelah utara jalan besar, banyak pohon sawo kecil dan kembang kantil.
Adapun bekas kadipaten Bonang, disuruh menempati adiknya yang bernama R. Makdum Ibrahim (putra R. Rahmat).
Makdum Ibrahim adalah seorang jejaka yang bertugas sebagai guru ngaji dan Modin.
Ketika berumur 30 tahun, beliau diwisuda oleh Sunan Agung Ngampel sebagai wali Negara Tuban, dalam hal keagamaan dan ketauhidan dengan pangkat Sunan, dan menempati bekas ndalem/rumah kakaknya Nyi Ageng Maloka.
Di Bonang, Makdum Ibrahim bertugas pula menjaga dan mengawasi makam Putri Campa (Bi Nang Ti) sekalian di Puntuk Regol, dan makam P. Wirabadjra serta P. Wira Negar di Bumi Keben.
Batu yang terdapat di makam Putri Campa diratakan, batunya digunakan untuk sujud (pasujudan).
Nyi Ageng Maloka memindahkan Kadipaten Binangun ke Lasem dengan maksud :
a. Mendekati P. Sati Puspa, untuk digunakan benteng pengayoman dan penasehat di dalam memegang pusat pemerintahan Lasem.
b. Mengingat bahwa P. Sati Puspa adalah seorang yang dicintai dan disegani oleh masyarakat Lasem, dan warga nelayan dari pesisir Demak sampai Sedayu.
c. Supaya hatinya terhibur sebab ditinggal mati anaknya dan ditinggal anaknya Solehah yang dibawa suaminya ke Demak yang bernama Aria Tum Bun.
Untuk menghibur hatinya, Nyi Ageng Maloka membuat gedung dan pertamanan yang diberi nama Taman Setya Tresna, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Caruban.
Setelah Makdum Ibrahim menjadi Wali, beliau bertambah giat didalam menyiarkan agama Islam dari Lasem sampai Tuban.
Sebaliknya Nyi Ageng Maloka karena selalu bergaul dengan P. Sati Puspa malah termakan oleh ilmu dan wejangannya, sehingga ia berani meninggalkan shalat dan puasa, sehingga Sunan Bonang kecewa dan tidak mentaati perintah Nyi Ageng Maloka untuk menjaga makam Putri Campa dan makam Keben. Selanjutnya pulang ke Pranggakan Tuban sampai berbulan-bulan.
Nyi Ageng Maloka menjadi janda sampai umur 39 tahun dan memegang pemerintahan dalam keadaan aman dan tenteram atas bantuan Pangeran Santi Puspa.
Setelalah Nyi Ageng Maloka meninggal, kekuasaan Kadipaten Lasem dirangkap oleh Pangeran Santi Puspa dengan dibantu oleh adiknya yang bernama Pangeran Santi Yoga yang diperintahkan menempati Kadipaten Cologawan.
Karena ditinggal ayahnya ke Majapahit, Pangeran Sati Puspa yang lahir sekitar tahun 1451 M, ketika berumur 18 tahun, diutus ayahnya menempati rumah Pura Kriyan bersama ibunya beserta adik-adiknya yang berjumlah 9 orang. Hingga umur 39 tahun ia belum mau kawin dahulu sebelum adik-adiknya kawin. Salah satu adiknya adalah Pangeran Santi Kusuma.
Santi Kusuma lahir tahun 1468 M. Umur 1 tahun ditinggal pergi ayahnya ke Majapahit selama 10 tahun, umur 2 tahun ditinggal mati ibunya.
Santi Kusuma kerapkali diajak kakaknya berlayar dan sowan Eyangnya yang bernama Sunan Bejagung ke Tuban. Sunan Bejagung adalah Adipati Tuban.
Umur 19 tahun Santi Kusuma masuk Islam dengan nama R. Mas Said (Pangeran Lokawijaya) dan sangat erat hubungannya dengan Sunan Bonang.
Pangeran Sati Puspa berputra Pangeran Kusuma Badra. Pangeran Kusuma Badra berputra Pangeran Santi Wira. Santi Wira berputra P. Tedjakusuma I. Pangeran Tedjakusuma I menurunkan P. Tedjakusuma II-III-IV-V.
Pangeran Tedjakusuma I menikah dengan putri Sultan Pajang dan diangkat menjadi Adipati Lasem tahun 1585 M.
Tedjakusuma V menurunkan R. Panji Margana (Ki Ageng Tulbaya) R. Panji menurunkan R. P. Witono, R. Witono menurunkan R. P. Khamzah.
Tedjakusuma I, pada tahun 1588 M mendirikan Masjid Lasem, bertempat di sebelah barat alun-alun.
Tedjakusuma I adalah seorang pertapa di Puntuk Punggur. Dan ketika masih kecil diberi parap (gelar) ibunya Bagus Serimpet.
Untuk menyebarkan agama Islam di Lasem, Tedjakusuma I mendatangkan seorang guru dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi pada tahun 1625 M, dan pada akhirnya Syeh Sam Bua diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa selir.
Tedjakusuma I, alias Ky. Ageng Punggur alias Bagus Serimpet wafat pada tahun 1632 M dalam usia 77 tahun, dimakamkan di belakang Masjid Kota Lasem dibelakang imaman.
Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun dimakamkan di sebelah utara serambi masjid kota Lasem.
Pada tahun 1679, Lasem sebagai Bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin mendapatkan monopoli perdagangan dipesisir pantai utara Jawa. VOC dibantu oleh Sunan Amangkurat II akhirnya dapat menaklukan Lasem setelah melalui peperangan yang berlangsung lama dan berlarut-larut.
Hal ini akhirnya menimbulkan kebencian warga Lasem ( Warga Pribumi maupun Tionghoa telah membaur waktu itu ) terhadap Belanda maupun penguasa Mataram sebagai boneka VOC.
Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwono I mengangkat Pangeran Tejakusuma V menjadi Adipati Lasem. Ia tak menyukai Sunan Pakubowono I maupun penggantinya yaitu Sunan Pakubowono II yang sangat erat dengan VOC.
Diam-diam beliau banyak membantu Arya Mataram dan Prabu Purbaya melawan VOC dan Penguasa Mataram.
Setelah pemberontakan terhadap Mataram semakin surut maka pada tahun 1727 Prabu Tejakusuma V mengundurkan diri dengan alasan kesehatan.
Putranya Raden Panji Margana tidak berkeinginan menjadi Adipati Lasem, ia lebih memilih menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran.
Akhirnya jabatan Bupati Lasem diserahkan kepada sahabat karibnya yang bernama Oey Ing Kiat seorang Pengusaha Tionghoa Islam yang sangat kaya, pengusaha pelayaran yang mempunyai banyak sekali jung dan perahu antar pulau.
Oey Ing Kiat dilantik menjadi Adipati Lasem pada tahuan 1727 oleh Sunan Pakubowono II dan diberi gelar Tumenggung Widyaningrat.
Pada tahun 1740 , akibat pembantaian orang Tionghoa di Batavia, kurang lebih 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di Lasem sehingga penduduk Tionghoa Lasem naik hampir dua kali lipat. merupakan kota besar sepanjang garis pantura yang dikenal pada zamannya sebagai Petit Chinois atau “Tiongkok kecil” karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan Tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem.
Lasem, merupakan satu tempat berkembangnya para imigran dari Tiongkok terbesar di Pulau Jawa abad ke-14 sampai 15 adalah Lasem (Lao Sam) selain di Sampotoalang (Semarang) dan Ujung Galuh (Surabaya).
Selain Tiongkok Kecil, Lasem dijuluki sebagai “Beijing Kecil”. Entah dari mana julukan ini muncul namun nyatanya ada pro dan kontra di kalangan warga Pecinan Lasem. Warga yang kurang setuju dengan julukan “Tiongkok Kecil” lebih suka menyebut kawasan itu dengan nama ‘Pecinan Lasem tempo dulu."
Selain itu Lasem juga dijuluki sebagai "Kota Pusaka" karena banyaknya kisah warisan sejarah masa lalu yang membingkai Lasem. Kawasan ini memiliki keanekaragaman budaya, Hindu, Budha, Islam, Jawa.
Menurut naskah yang ditulis oleh Mbah Guru, nama Lasem diambil dari nama Kama(la) dan Beka(sem). Manisan buah Kamala dan olahan Bekasem ini diajarkan oleh Ki Welug (Mpu Rangga Widyabadra, meninggal tahun 920M) kepada masyarakat Banjar Karanggan dan sekitarnya.
Versi lain yang menyebutkan bahwa Lasem berasal dari kata Alas Asem, adapun versi lain yaitu Lasem berasal dari kata Lao Sam dalam bahasa Cina.
Pada masa Kutha Lasem dipimpin oleh Akuwu Mpu Metthabadra pada tahun 1345 M keadaan Lasem masih aman dan tenteram. Tidak ada negeri lain yang menjajahnya.
Baru pada masa Wilwatikta diperintah oleh Prabu Hayam Wuruk, Akuwu Lasem Mpu Metthabadra ditaklukkan oleh pasukan pimpinan Patih Arya Gajah (Gajah Mada?) dan Lasem berada di bawah imperium Majapahit.
Kemudian pemerintahan Kerajaan Lasem diserahkan kepada Indudewi /adik ipar Hayam Wuruk (putri Rajadewi) dia diwisuda sebagai Raja dengan gelar Bhre Lasem pada tahun 1351 M.
Menurut naskah Veda Badra Santi (MpuSantibadra) maupun Kitab Carita Lasem (MpuPanji Karsono), urutan raja-raja Lasem adalah sebagai berikut.
1. Bhre Lasem Duhita Indu Dewi (Dewi Indu Purnamawulan), raja pertama Kerajaan Lasem
2. Pangeran Badrawardana, dia adalah putra Bhre Lasem Duhita Indu Dewi dan Bhre Mataun Rajasawardana
3. Pangeran Wijayabadra, putra Pangeran Badrawardana
4. Pangeran Badranala, putra Pangeran Wijayabadra
5. Pangeran Wirabajra, putra Pangeran Badranala dan Putri Cempo Bi Nang Ti, pusat pemerintahan dipindah di Bhumi Bonang Binangun.
6. Pangeran Wiranagara, putra PangeranWirabajra, ia juga menantu Sunan Ampel. Pada saat Pangeran Wiranagara wafat, pemerintahan dipegang oleh istrinya yaitu:
7. Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel dan pusat pemerintahan dipindah kembali ke Bhumi Lasem depan Puri Kriyan dengan gelar Adipati Lasem. Ia dibantu oleh sanak saudara dari pihak suami, Pangeran Santipuspa putra Tumenggung Wilwatikta Mpu Santibadra.
Dikisahkan pada kira-kira tahun Syaka 1335 (1413 Masehi), ada salah seorang Dhang Puhawang/Laksamana dari kerajaan Cempa yang bernama Bi Nang Un beserta keluarga dan orang-orang warga dari negerinya datang di Lasem, berlabuh, mendaratkan kapal-kapalnya di pelabuhan Regol.
Setahun sebelum kedatangan mereka di Lasem, Bi Nang Un telah terlebih dulu datang di Lasem dengan ikut berlayar menjelajah dunia bersama Dhang Puhawang (Laksamana) Cheng Ho dari negara Tiongkok.
Setelah meminta izin dan pamit kepada Dhang Puhawang Cheng Ho dan juga mendapatkan restu dari Pangeran Wijayabadra selaku Adipati Lasem tetapi dengan syarat jika kepindahannya beserta keluarga dan warga-warga lain dari Cempa dengan membawa banyak benda atau tanaman-tanaman dari Cempa tidak ada di Jawa.
Seperti; Pari Campa Klewer (Padi Campa), Ketan Ireng (ketan hitam), pelem blungkow (mangga blungkow), Tebu Limpow, Delimow (delima), Pitik Cempow (ayam Campa), merak ulese biru (burung merak berbulu biru), serta orang-orang yang ahli di bidang kesenian.
Orang-orang dari Campa pintar sekali membuat Slepi (wadah tembakau) dari bulu merak, pintar membatik, membuat perhiasan dari emas, menari dan membuat gamelan dan generasi mudanya entah laki-laki atau perempuan pasti bisa menari dan menabuh gamelan untuk upacara-upacara pemujaan dalam agama Buddha.
Pada masa-masa inilah, lahir Batik Lasem yang sampai sekarang menjadi ikon batik pesisiran khas Lasem yang kaya akan perpaduan unsur-unsur budaya dengan warna yang khas dan motif yang unik.
Bi Nang Un mempuyai 2 orang putra, lelaki bernama Bi Nang Na, dan yang perempuan bernama Bi Nang Ti (Putri Campa)
Pangeran Badranala menikah dengan Bi Nang Ti (Putri Campa) dan mempuyai 2 orang putra Pangeran Wirabadja dan Pangeran Santi Badjra.
Putri Bi Nang Ti setelah menikah dengan Pangeran Badranala namanya diganti menjadi Winarti Kusuma Wardhani.
Pada tahun 1468 M Pangeran Badranala meninggal, dengan meninggalkan wasiat kepada anaknya :
a. Supaya abu layonya di makamkan kumpul dengan istrinya di Puntuk Regol.
b. Supaya putranya yang bernama P. Wirabadjra pindah ke Bonang.
c. Supaya rakyat nanti diperbolehkan memeluk agama Islam.
Selanjutnya yang menjadi dan menduduki Adipati Lasem ialah Pangeran Wirabadjra.
Pangeran Wirabadjra menjadi adipati pada tahun 1470 M. Ia tidak bertempat tinggal di Pura Kriyan, tetapi pindah di bumi Bonang Binangun, dekat makam orang tuanya di Puntuk Regol. Adapun Pura Kriyan ditempati adiknya yang bernama Pangeran Santi Badjra.
Ketika Pangeran Wirabadjra membangun dan berkuasa di Kadipaten Binangun, masyarakat nelayan yang biasa berlayar ke Tuban Gresik dan Ngampel sudah memeluk Agama Rasul (Islam).
Pangeran Wirabadjra berputra Pangeran Wiranagara, yang pada waktu kecilnya sudah berguru ke Ngampel, dan akhirnya menikah dengan putra pertama Maulana Rahmat Sunan Ngampel yang bernama Nyi Ageng Maloka.
Setelah Pangeran Wirabadjra meninggal, diganti oleh putranya yang bernama Pangeran Wiranagara. Ia menjadi Adipati hanya 5 tahun.
Pangeran Wiranagara yang menikah dengan putri Nyi Ageng Maloka mempunyai 2 putra :
a. Solehah (istri P. Aria Tun Bun Nahkoda Demak) dan
b. Seorang anak yang mati etika masih bayi.
Tahun 1479 M Pangeran Wiranagara meninggal, pemerintahan Kadipaten Binangun dipegang oleh Nyi Ageng Maloka (janda P. Wiranegara) yang masih berumur 28 tahun.
Tahun 1480 M, Kadipaten Binangun dipindah ke Lasem oleh Nyi Ageng Maloka dan bertempat di Bumi Cologawan berhadapan dengan rumah kepanggenan Kriyan yang ditempati oleh Pangeran Santi Puspa.
Rumah Kadipaten Nyi Ageng Maloka menghadap ke selatan sebelah utara jalan besar, banyak pohon sawo kecil dan kembang kantil.
Adapun bekas kadipaten Bonang, disuruh menempati adiknya yang bernama R. Makdum Ibrahim (putra R. Rahmat).
Makdum Ibrahim adalah seorang jejaka yang bertugas sebagai guru ngaji dan Modin.
Ketika berumur 30 tahun, beliau diwisuda oleh Sunan Agung Ngampel sebagai wali Negara Tuban, dalam hal keagamaan dan ketauhidan dengan pangkat Sunan, dan menempati bekas ndalem/rumah kakaknya Nyi Ageng Maloka.
Di Bonang, Makdum Ibrahim bertugas pula menjaga dan mengawasi makam Putri Campa (Bi Nang Ti) sekalian di Puntuk Regol, dan makam P. Wirabadjra serta P. Wira Negar di Bumi Keben.
Batu yang terdapat di makam Putri Campa diratakan, batunya digunakan untuk sujud (pasujudan).
Nyi Ageng Maloka memindahkan Kadipaten Binangun ke Lasem dengan maksud :
a. Mendekati P. Sati Puspa, untuk digunakan benteng pengayoman dan penasehat di dalam memegang pusat pemerintahan Lasem.
b. Mengingat bahwa P. Sati Puspa adalah seorang yang dicintai dan disegani oleh masyarakat Lasem, dan warga nelayan dari pesisir Demak sampai Sedayu.
c. Supaya hatinya terhibur sebab ditinggal mati anaknya dan ditinggal anaknya Solehah yang dibawa suaminya ke Demak yang bernama Aria Tum Bun.
Untuk menghibur hatinya, Nyi Ageng Maloka membuat gedung dan pertamanan yang diberi nama Taman Setya Tresna, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Caruban.
Setelah Makdum Ibrahim menjadi Wali, beliau bertambah giat didalam menyiarkan agama Islam dari Lasem sampai Tuban.
Sebaliknya Nyi Ageng Maloka karena selalu bergaul dengan P. Sati Puspa malah termakan oleh ilmu dan wejangannya, sehingga ia berani meninggalkan shalat dan puasa, sehingga Sunan Bonang kecewa dan tidak mentaati perintah Nyi Ageng Maloka untuk menjaga makam Putri Campa dan makam Keben. Selanjutnya pulang ke Pranggakan Tuban sampai berbulan-bulan.
Nyi Ageng Maloka menjadi janda sampai umur 39 tahun dan memegang pemerintahan dalam keadaan aman dan tenteram atas bantuan Pangeran Santi Puspa.
Setelalah Nyi Ageng Maloka meninggal, kekuasaan Kadipaten Lasem dirangkap oleh Pangeran Santi Puspa dengan dibantu oleh adiknya yang bernama Pangeran Santi Yoga yang diperintahkan menempati Kadipaten Cologawan.
Karena ditinggal ayahnya ke Majapahit, Pangeran Sati Puspa yang lahir sekitar tahun 1451 M, ketika berumur 18 tahun, diutus ayahnya menempati rumah Pura Kriyan bersama ibunya beserta adik-adiknya yang berjumlah 9 orang. Hingga umur 39 tahun ia belum mau kawin dahulu sebelum adik-adiknya kawin. Salah satu adiknya adalah Pangeran Santi Kusuma.
Santi Kusuma lahir tahun 1468 M. Umur 1 tahun ditinggal pergi ayahnya ke Majapahit selama 10 tahun, umur 2 tahun ditinggal mati ibunya.
Santi Kusuma kerapkali diajak kakaknya berlayar dan sowan Eyangnya yang bernama Sunan Bejagung ke Tuban. Sunan Bejagung adalah Adipati Tuban.
Umur 19 tahun Santi Kusuma masuk Islam dengan nama R. Mas Said (Pangeran Lokawijaya) dan sangat erat hubungannya dengan Sunan Bonang.
Pangeran Sati Puspa berputra Pangeran Kusuma Badra. Pangeran Kusuma Badra berputra Pangeran Santi Wira. Santi Wira berputra P. Tedjakusuma I. Pangeran Tedjakusuma I menurunkan P. Tedjakusuma II-III-IV-V.
Pangeran Tedjakusuma I menikah dengan putri Sultan Pajang dan diangkat menjadi Adipati Lasem tahun 1585 M.
Tedjakusuma V menurunkan R. Panji Margana (Ki Ageng Tulbaya) R. Panji menurunkan R. P. Witono, R. Witono menurunkan R. P. Khamzah.
Tedjakusuma I, pada tahun 1588 M mendirikan Masjid Lasem, bertempat di sebelah barat alun-alun.
Tedjakusuma I adalah seorang pertapa di Puntuk Punggur. Dan ketika masih kecil diberi parap (gelar) ibunya Bagus Serimpet.
Untuk menyebarkan agama Islam di Lasem, Tedjakusuma I mendatangkan seorang guru dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi pada tahun 1625 M, dan pada akhirnya Syeh Sam Bua diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa selir.
Tedjakusuma I, alias Ky. Ageng Punggur alias Bagus Serimpet wafat pada tahun 1632 M dalam usia 77 tahun, dimakamkan di belakang Masjid Kota Lasem dibelakang imaman.
Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun dimakamkan di sebelah utara serambi masjid kota Lasem.
Pada tahun 1679, Lasem sebagai Bagian dari kerajaan Mataram diserang oleh VOC yang ingin mendapatkan monopoli perdagangan dipesisir pantai utara Jawa. VOC dibantu oleh Sunan Amangkurat II akhirnya dapat menaklukan Lasem setelah melalui peperangan yang berlangsung lama dan berlarut-larut.
Hal ini akhirnya menimbulkan kebencian warga Lasem ( Warga Pribumi maupun Tionghoa telah membaur waktu itu ) terhadap Belanda maupun penguasa Mataram sebagai boneka VOC.
Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwono I mengangkat Pangeran Tejakusuma V menjadi Adipati Lasem. Ia tak menyukai Sunan Pakubowono I maupun penggantinya yaitu Sunan Pakubowono II yang sangat erat dengan VOC.
Diam-diam beliau banyak membantu Arya Mataram dan Prabu Purbaya melawan VOC dan Penguasa Mataram.
Setelah pemberontakan terhadap Mataram semakin surut maka pada tahun 1727 Prabu Tejakusuma V mengundurkan diri dengan alasan kesehatan.
Putranya Raden Panji Margana tidak berkeinginan menjadi Adipati Lasem, ia lebih memilih menjadi pengusaha pertanian dan pelayaran.
Akhirnya jabatan Bupati Lasem diserahkan kepada sahabat karibnya yang bernama Oey Ing Kiat seorang Pengusaha Tionghoa Islam yang sangat kaya, pengusaha pelayaran yang mempunyai banyak sekali jung dan perahu antar pulau.
Oey Ing Kiat dilantik menjadi Adipati Lasem pada tahuan 1727 oleh Sunan Pakubowono II dan diberi gelar Tumenggung Widyaningrat.
Pada tahun 1740 , akibat pembantaian orang Tionghoa di Batavia, kurang lebih 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di Lasem sehingga penduduk Tionghoa Lasem naik hampir dua kali lipat.
................ ....... .........
> > >