Dimas Noor Ibrahim Kuncoro Djati (Mahasiswa Program Doktor UI). |
Jakarta - Siapapun di negeri ini yang sedang berurusan dengan hukum utamanya para pemangku kekuasaan dan tidak terkecuali aparat penegak hukum sekalipun dengan dalil asas praduga tidak bersalah dan alasan pelanggaran HAM maka instrument praperadilan adalah fenomena sosial sekaligus fenomena hukum menarik dan semakin kompleks karena asumsi – asumsi kritis paradigma positivistis dialektis.
Dominasi positivistis praperadilan didalam KUHP seringkali terguncang dan tersendak oleh situasi realitis pragmatis kasus-kasus praperadilan yang segitu dinamis. Berbagai putusan praperadilan terkait perluasan obyek praperadilan dimana penetapan tersangka Komjen Polis Budi Gunawan (Perkara 04/Praper/2015/PN) sering menjadi inspirasi hukum bagi para tersangka untuk memperjuangkan keadilannya.
Dengan bekal prinsip due process of law secara operasional praperadilan juga mencakup perlindungan warga Negara dimana ketika status hukumnya berubah sebagai tersangka dilakukan berbagai upaya paksa tetapi hak-haknya tidak hilang baik hak untuk mendengar, hak mengajukan pembelaan dan mendapatkan perlakuaan fairness (cramer, james-court and judges, 1981). Beberapa ketentuan didalam KUHP yakni pasal 50 (2) (3) KUHP dan 82 (1) KUHP masih saja produktif menimbulkan kesewenang-wenangan.
Aparat penegak hukum menjadikan semacam “Rules Of The Game” untuk melumpukan upaya praperadilan yang diajukan para tersangka. Tentunya ketentuan pasal-pasal ini menarik untuk dicermati terkait status para tersangka tidak terkecuali kasus yang menarik perhatian publik terhadap penetapan tersangka Wamenkumham Prof. Eddy Hiariej, sekaligus guru besar hukum dan ketua KPK Firli Bahuri menarik dicermati ketentuan pasal pasal 50 (2) (3) KUHP mengatur hak tersangka perkaranya segera diajukan ke pengadilan untuk segera diadili.
Sementara dalam ketentuan pasal 82 (1) huruf di KUHP menegaskan dalam suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangankan praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur. Deskripsi pasal-pasal tersebut seolah-olah system peradilan pidana itu menganut pendekatan responsif.
Benarkah sesungguhnya politik peradilan yang sehat sudah berjalan? Percepatan prosedural itu baik ditingkat praktek apa yang disebut tahap I seperti penyerahan berkas dan bukti-bukti maupun penyerahan tahap II yakni tersangkanya.
Lantas kemudian apakah tahapan-tahapan prosedural itu dengan menyegerakan proses penyidikan dan penuntutan tersebut dapat dijamin terpenuhinya Dive Process of Law. Hal inilah seringkali menimbulkan praduga apa maksud dan makna segera itu terlebih arti praperadilan gugur jika perkaranya mulai diperiksa oleh pengadilan. Ketentuan ini juga diikuti oleh UU KPK Pasal 52 (1) (2) UU 30/2002 tentang KPK.
Gejala normatif dengan argumentasi asas peradilan cepat dan sederhana tentunya tidaklah dimaknai asal cepat dan semua persoalan bisa disederhanakan. Sekalipun obyek kelembagaan praperadilan sudah diperkuat dan diperluas dengan putusan MK No. 21/PUU/2014 tanggal 28 April 2015, namun frasa segera dan gugurnya praperadilan saat mulai diperiksa oleh pengadilan negeri namun prasa tersebut menimbulkan 3 multi tafsir yakni pertama gugurnya sejak berkas dilimpakkan kepengadilan , tasir kedua praper gugur sejak persidangan pertama dimulai dan tafsir ketiga sejak dakwaan dibacakan.
Lantas bagaimana agar proses praperadilan itu lanjut / gugur dengan jaminan peradilan fairness process. (fair trail – lord denning – deu process of low discipline of low exford 1980) maka sejatinya dari 3 tafsir tersebut dapat membedakan tegas mana prosedural administratif mana proses persidangan.
Pelimpahan perkara tentu tidaklah bisa diartikan proses persidangan atau bagian proses persidangan jadi tidaklah tepat jika permohonan praper dianggap gugur karena berkas sudah dilimpahkan. Demikian pula jika penyidik dan JPU sengaja menunda-nunda kehadiran dalam sidang praper sebagai “taktik” untuk menutupi illegal procedural yang sudah dilakukan sekaipun pihak aparat penegak hukum menggunakan adagium justice delayed, justice denied (menunda proses, menunda keadilan) sebagai alasan pembenarannya, namun perdebatan yang juga berujung putusan MK No 102/PUU-XII/2015.
Tentang idealnya proses praperadilan terlihat dalam Putusan MK 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, antara lain:
MK memandang penetapan Tersangka sebagai upaya paksa. Padahal dalam teori-teori tentang pemidaanan dan Sistem Peradilan Pidana, Status Tersangka merupakan “hak” bagi seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana, dengan syarat penyidik mampu menemukan dan minimal 2 alat bukti yang sah, kemudian menunjukkannya kepada Tersangka
MK mensyaratkan bahwa sebelum jadi tersangka, seseorang wajib diperiksa terlebih dahulu sebagai “calon tersangka”. Diksi “calon tersangka” ini tidak dikenal dalam Hukum Acara Pidana, sehingga terjadi kesulitan untuk menentukan siapa “calon tersangka” ini. Jika kita tannya sama Saksi, mau gak kamu sebagai “calon tersangka”? pasti jawabannya tidak mau. Jadi diksi “calon tersangka” ini tidak akan bisa diterapkan dalam proses penyidikan
Terjadi kekosongan Hukum Formil dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Akhirnya Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 4 Tahun 2016. Pasal 2 Ayat (2) PERMA menyatakan bahwa Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara, namun tidak adil apabil hanya memeriksa kuantitas alat bukti saja tanpa mememeriksa validitas alat-alat bukti tersebut.
Bila ini terjadi, maka akan banyak seseorang yang akan menjadi tersangka. Kemudian hal ini juga terkait dengan definisi penyidikan (Pasal 1 angka 2 KUHAP) bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Sedangkan Pengertian Tersangka (Pasal 1 angka 14 KUHAP) adalah “seseorang orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Dengan demikian makna dari penyidikan harus terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. Dari bukti-bukti tersebut kemudian baru ditetapkan tersangkanya.
Memaknai frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup sekurang-kurangnya 2 alat bukti di 184 KUHP, padahal 184 KUHP peruntukannya di tahapan ajudikasi, sementara 3 frasa yg di tafsirkan mahkamah ada di tahap praajudikasi, apakah parameter keduanya sama? Konkretnya apakah 5 alat bukti yang sah di 184 kesemuanya dapat digunakan ditahapan pra ajudikasi? Jika merujuk perkap 6, utuk penetapan tersangka selain di persyaratkan bewijs minimum juga di persyaratkan barang bukti, padahal tidak setiap tindak pidana ada barang bukti.
Menurut isi SEMA nomer 5 thn 2021 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, dalam perkara tindak pidana, sejak berkas perkara dilimpahkan dan diterima oleh Pengadilan serta merta mengugurkan pemeriksaan Praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHP, karena sejak dilimpakkan perkara pokok ke pengadilan status Tersangka beralih menjadi Terdakwa, status penahanannya beralih menjadi wewenang Hakim. Dalam hal Hakim Praperadilan tetap memutus dan mengabulkan permohonan Pemohon, putusan tersebut tidak menghentikan pemeriksaan perkara pokok.
Menurut hemat penulis demi prinsip lex stricta perlu penegasan dalam bentuk jurisprodensi, SEMA dan PERMA yang limitative mempertegas perbedaan antara pelimpahan administratif tidak dimaknai bagian dari segera mengadili perkara agar ada proporsionalitas hak tersangka dalam mengajukan praperadilan dan kewenangan APH sebagai representasi Negara. Apa artinya prosedur mengadili namun tendensi kesewenang-wenangan melumuri substansi / pokok perkara. Seharusnya legenda kasus Miranda peradilan Arizon selalu menjadi potret politik peradilan di Indonesia.(**)
Penulis: Dimas Noor Ibrahim Kuncoro Djati (Mahasiswa Program Doktor UI)