Surakarta - Keraton Surakarta merupakan salah satu tempat yang sangat bersejarah yang ada di Kota Solo. Keraton ini yang juga sering di sebut dengan Keraton Surakarta Hadiningrat.
Hal itu karena dari dulu sampai sekarang Keraton Surakarta merupakan tempat tinggal bagi sunan dan keluarga istana yang masih melestarikan adat istiadat dan budaya kerajaan.
Keraton Surakarta ini merupakan bagian dari sejarah perjanjian giyanti. Perjanjian tersebut adalah perjanjian antara Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi yang bersengketa di Kesultanan Mataram dan membentuk perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda atau VOC bahwa Kesultanan Mataram di bagi menjadi dua yaitu ; Surakarta dan Yogyakarta.
Namun sejak perjanjian tersebut, Keraton Surakarta tidak dianggap sebagai pengganti dari Kesultanan Mataram. Walaupun rajanya masih memiliki darah keturunan Kerajaan Mataram.
Keraton Surakarta pun menjadi sebuah kerajaan sendiri. Setiap Raja dari Kasunanan Surakarta pun mendapat gelar Sunan. Seperti halnya Raja yang ada di Kesultanan Yogyakarta yang mendapat gelar Sultan.
Perjanjian Salatiga dalam Sejarah Keraton Surakarta
Pada 13 Februari 1755, VOC mengalami kebangkrutan. Lalu pada saat itu VOC membujuk Pangeran Mangkubumi untuk berdamai dengan dan bersatu dengan VOC untuk melawan pemberontak Raden Mas Said. Padahal sebelum itu Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said bersekutu.
Pada 17 Maret 1757, terjadilah Perjanjian Salatiga yang menyebabkan Kasunanan Surakarta semakin kecil. Hal itu terjadi karena Raden Mas Said menang dan diakui sebagai pangeran kekuasaannya yang berstatus sebagai Kadipaten dan disebut dengan julukan Praja Mangkunegara.
Lalu Kasunanan Surakarta lebih mengecil lagi dikarenakan Raden Mas Said yang bergelar Adipati Mangkunegara. Menyerahkan daerah mencanegara nya ke Belanda sebagai ganti rugi biaya peperangan setelah peperangan Diponegoro.
Silsilah Keraton Surakarta
Awal mulanya Keraton Surakarta adalah istana dari Kesultanan Mataram Islam. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kesunanan Surakarta.
Pakubuwana I
Sunan Pakubuwana I atau Pangeran Puger terlahir dengan nama Raden Mas Darajat, ia adalah putra Amangkurat I dan cucu dari Sultan Agung. Ayahnya merupakan penguasa Kerajaan Mataram Islam keempat.
Awalnya, Pangeran Puger menggunakan gelar Amangkurat. Namun, pada Oktober 1704, ia menggantinya dan menambah sejumlah gelar yang kemudian menjadi panggilannya, yaitu Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. biasa disingkat Pakubuwana I
Gelar ini kemudian diteruskan ke keturunan-keturunannya sebagai Susuhunan Surakarta hingga sekarang.
Masa hidupnya memerintah Keraton Kartasura, merupakan keraton dan ibu kota Kesultanan Mataram. Pakubuwana I wafat pada tahun 1719 dan digantikan oleh putranya, Raden Mas Suryaputra yang bergelar Amangkurat IV.
Keturunan Amankurat IV inilah yang nantinya menjadi Raja Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, setelah Kerajaan Mataram dipecah pasca perjanjian giyanti.
Pakubuwana II
Sunan Pakubuwana II atau Sunan Kumbul memiliki nama asli Raden Mas Prabasuyasa, ia merupakan putra Amangkurat IV dan Ratu Amangkurat (GKR. Kencana) atau Ratu Mas Kadipaten, seorang permaisuri keturunan Sunan Kudus (salah satu walisongo). Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember 1711.
Menjadi Raja Mataram ke sembilan bertakhta 1726 – 1742. Selanjutnya menjadi Raja Surakarta pertama yang bertakhta antara 1745 sampai 1749.
Berawal dari peristiwa Geger Pacinan yang melibatkan orang Tionghoa membentuk perlawanan untuk mempertahankan diri, semakin lama pasukan mereka menjadi kuat karena mendapat dukungan dari para bupati pesisir serta mengangkat Sunan Kuning sebagai raja Mataram dan berhasil menguasai Keraton Kartasura dengan gelar Amangkurat V.
Pakubuwana II beserta keluarganya melarikan diri ke Ponorogo dan meminta bantuan VOC untuk mengusir Amangkurat V dan para pengikutnya dari Keraton Kartasura dan VOC membantu permintaan dari Pakubuwana II untuk mengusir Amangkurat V, usaha ini pun berhasil Pakubuwana II kembali menduduki takhta Mataram
Akibat peperangan yang terus terjadi menyebabkan istana kerajaan (Keraton Kartasura) mengalami kerusakan parah. Hal tersebut mengakibatkan Pakubuwana II ingin mendirikan istana baru ke daerah lain yang layak dihuni. Setelah dilakukan pencarian wilayah pengganti Keraton Kartasura akhirnya terpilih desa Sala sebagai lokasi keraton baru. Pada tanggal 17 Februari 1745 keraton baru di desa Sala secara resmi digunakan sebagai pengganti keraton lama, kemudian diberi nama Surakarta.
Pakubuwana III
Pakubuwana III memiliki nama asli Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II. Ketika menjadi raja dihadapkan dengan pemberontakan di masa pemerintahan ayahnya. Pemberontakan tersebut dipelopori oleh pamannya sendiri, Pangeran Mangkubumi sejak tahun 1746. Pihak pemberontak telah mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai Pakubuwana III dan Pangeran Sambernyawa sebagai patihnya pada tanggal 12 Desember 1749 di basis pertahanan mereka.
Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa. VOC melihat kesempatan ini dan segera menawarkan perdamaian dengan Pangeran Mangkubumi.
Perundingan dilakukan dan berakhir dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan kedaulatan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III.
Berdasarkan hasil perjanjian yang telah disepakati, Pangeran Mangkubumi tidak diperbolehkan menggunakan gelar susuhunan. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sebagai sultan yang bergelar Hamengkubuwana I dan membangun kerajaan baru bernama Kesultanan Yogyakarta.
Perjanjian Giyanti, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh angeran Sambernyawa karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Seusai Perjanjian Giyanti, Pangeran Sambernyawa merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi. Akhirnya ia pun menjadi musuh Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Perlawanan Pangeran Sambernyawa mulai melemah akhirnya ia terdesak dan bersedia berunding dengan VOC sejak 1756.
Selanjutnya, Pangeran Sambernyawa berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I, serta pasukan VOC) pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Puncaknya, pada bulan Maret 1757 melalui Perjanjian Salatiga yang dihadiri Pangeran Sambernyawa, Pakuwubawana III, utusan Hamengkuwubawana I dan VOC. Sejak itu Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said bergelar Mangkunagara I. Daerah yang dipimpinnya bernama Kadipaten Mangkunagaran, sebidang tanah pemberian Pakubuwana III hasil pembagian wilayah Mataram
Kelemahan politik Pakubuwana III menyebabkan keadaan pulau Jawa menjadi tegang. Muncul komplotan pemberontak yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung sampai kematiannya. Pakubuwana III digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana IV, seorang raja yang lebih cakap dan pemberani dalam mengambil sikap politiknya.
Pakubuwana IV
Nama aslinya adalah Raden Mas Subadya, Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta dalam usia muda dan berwajah tampan
Pakubuwana IV merupakan sosok raja yang sangat membenci penjajahan dan seorang raja yang memiliki cita cita tinggi serta keberanian penuh. Berbeda dengan Pakubuwana III yang patuh dengan VOC.
Pakubuwana IV dikenal sebagai Sinuhun Wali karena ia terkenal sangat dekat dengan kaum ulama. Beliau memang gemar bertapa serta ahli zikir, di mana tingkat ilmu rohaninya konon sederajat waliyullah.
Pada 1790, VOC bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. VOC bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.
Alasan pengepungan ini karena Pakubuwana IV mengusir para pejabat Negara yang tidak sejalan dan sepaham dengannya.
Pakubuwana IV akhirnya mengaku kalah pada 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang terdiri dari para haji untuk dibuang VOC.
Dan setelah itu terdapat perundingan yang memutuskan bahwa Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Praja Mangkunegara memiliki kedudukan yang sama sehingga tidak boleh saling menyerang satu dengan yang lainnya.
Pakubuwana V
Sri Susuhunan Pakubuwana V (sering disingkat sebagai PB V; 13 Desember 1784 – 5 September 1823) adalah susuhunan keempat Surakarta yang memerintah tahun 1820 – 1823.
Sunan Pakubuwana V memiliki nama asli Raden Mas Sugandi, beliau naik takhta pada tanggal 10 Februari 1820, selang delapan hari setelah kepergian ayahnya.
Pakubuwana V mendapat julukan Sunan Ngabehi atau Sunan Sugih, yang artinya baginda yang kaya harta dan kesaktian.
Pakubuwana V juga memerintahkan ditulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjabat sebagai Adipati Anom, dan yang menjadi juru tulis serat tersebut ialah Raden Ngabehi Ranggasutrasna.
"Serat Centhini (dalam aksara Jawa:ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦕꦼꦟ꧀ꦛꦶꦤꦶ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, supaya tidak punah dan tetap terlestarikan sepanjang waktu"
Pakubuwana VI
Sunan Pakubuwana VI telah ditetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.
Sri Susuhunan Pakubuwana VI (sering disingkat PB VI; 26 April 1807 – 2 Juni 1849) adalah susuhunan Surakarta kelima yang memerintah tahun 1823 – 1830. Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, beliau dijuluki dengan nama Sinuhun Bangun Tapa karena kegemarannya melakukan tapa brata.
Pakubuwana VI merupakan salah satu pendukung dari Pangeran Diponegoro, yang memberontak pada VOC serta pada Kasultanan Yogyakarta sejak tahun 1825.
Ketika Belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Pada tanggal 8 Juni 1830 Pakubuwana VI ditangkap di Mancingan, kemudian diasingkan ke luar Jawa karena ditakutkan akan melakukan pemberontakan. Pakubuwana VI dibuang ke Ambon pada 8 Juli 1830. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi.
Pakubuwana VI jelas tidak wafat karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan wafat dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
Pakubuwana VII
Sri Susuhunan Pakubuwana VI memerintah tahun 1830 – 1858. Nama aslinya ialah Raden Mas Malikis Solikin.
Pada saat pemerintahan Pakubuwana VII, Peperangan Diponegoro telah usai. Masa pemerintahan relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumnya. Tidak ada lagi bangsawan yang memberontak besar-besaran secara fisik. Jika pun ada hanyalah pemberontakan kecil yang tidak sampai mengganggu stabilitas keraton
Dan pada keadaan damai itu lah tumbuh dan berkembangnya sastra secara besar besaran. Masa pemerintahan Pakubuwana VII ini di sebut dengan masa kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta, dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya, hampir sebagian besar karyanya lahir pada masa ini. Hubungan antara raja dan pujangga tersebut juga dikisahkan sangat harmonis.
Pakubuwana VIII
Sri Susuhunan Pakubuwana VIII memerintah tahun 1858 – 1861. Pakubuwana VIII naik takhta pada usia lanjut, yaitu pada usia 69 tahun karena Pakubuwana VII tidak memiliki putra mahkota. Ia sendiri adalah raja dari wangsa Mataram pertama yang tidak melakukan poligami.
Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Kuseini. Pemerintahannya berjalan selama tiga tahun hingga akhir hayatnya, sehingga menjadikannya penguasa Surakarta yang paling singkat masa jabatannya.
Pakubuwana IX
Pakubuwana IX memerintah tahun 1861–1893. Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Duksina, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan saat ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro.
Dalam Serat Kalatida, Ranggawarsita memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu disebutnya sebagai Zaman Edan.
Semasa kepemimpinan Pakubuwana IX, keadaan Kasunanan Surakarta mengalami kemajuan yang pesat. Bangunan fisik Keraton Surakarta banyak yang direnovasi, seperti Siti Hinggil, Panggung Sangga Buwana, dan lain-lain, sehingga ia juga terkenal dengan sebutan Sinuhun Bangun Kedhaton.
Pakubuwana X
Pakubuwana X ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia, atas jasa dan peran aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, pelopor pembangunan sosial-ekonomi, pendidikan rakyat, pembentukan jati diri bangsa dan integrasi nasional.
Pakubuwana X memiliki nama lahir sebagai Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Kusna, putra Pakubuwana IX. Pada usia 3 tahun ia telah ditetapkan sebagai putra mahkota bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram VI
Pada masa pemerintahan Pakubuwana, suasana politik di Keraton Surakarta sangatlah stabil, dan pada masa ini disebut masa kejayaan pemerintahan Pakubuwana X, memerintah dari tahun 1893 – 1939.
Dalam pergerakan nasional, Pakubuwana X mendukung para pelopor perjuangan nasional melalui pemberian fasilitas, materi, keuangan dan moral. Selain itu, ia berperan serta membantu pergerakan Boedi Oetomo dan pendirian Sarekat Dagang Islam.
Pada masa ini terjadi sebuah transisi, yaitu dari Kerajaan era tradisional menuju ke era modern.
Ia juga banyak membangun infrastruktur untuk Kota Surakarta seperti Stasiun Solo Jebres, Satwa Taru Jurug (Kebun Binatang Jurug), Jembatan Jurug, bangunan Pasar Gedhe dan masih banyak yang lainnya.
Namun pada 1 Februari 1939 Pakubuwana X wafat, ia di juluki oleh rakyatnya sebagai Sunan Panutup atau disebut sebagai raja besar Surakarta yang terakhir.
Pakubuwana XI
Pakubuwana XI dengan permaisurinya. Susuhunan Surakarta ke-10. Berkuasa 1939 – 1945. Nama aslinya adalah Raden Mas Ontoseno, setelah dewasa bergelar KGPH. Hangabehi. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April 1939
Masa pemerintahan Pakubuwana XI merupakan masa yang sulit karena pada saat itu bertepatan dengan perang dunia kedua. .
Pakubuwana XI juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang terjadi inflasi yang mengakibatkan keuangan keraton dan para bangsawan amat menderita.
Jepang juga merampas sebagian besar kekayaan keraton dan aset-aset Kasunanan Surakarta, hingga akhirnya Pakubuwana XI jatuh sakit. Pakubuwana XI kemudian wafat pada 1 Juni 1945, ia digantikan oleh putranya yang masih berusia sangat muda sebagai Pakubuwana XII.
Susuhunan Pakubuwana XII
Nama aslinya adalah Raden Mas Suryo Guritno, adalah susuhunan Surakarta yang masa pemerintahannya paling lama di antara raja-raja Jawa, yaitu selama 59 tahun, tepatnya mulai tahun 1945 hingga 2004.
Masa pemerintahan Pakubuwana XII bersamaan dengan momen lahirnya NKRI. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pada 1 September 1945 Pakubuwana XII mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan ucapan selamat dan dukungan terhadap Republik Indonesia, Lima hari kemudian, 6 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah Istimewa dari Presiden Soekarno.
Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Soekarno selaku kepala negara.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Daerah Istimewa Surakarta (DIS) kemudian dibubarkan lantaran banyaknya kasus penculikan dan kekerasan terhadap sejumlah pejabat Kasunanan oleh kaum radikal Barisan Banteng.
Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kesunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII berubah menjadi sebagai simbol dan pemangku adat Surakarta.
Pada pertengahan tahun 2004, Pakubuwana XII mengalami koma dan menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Panti Kosala Dr. Oen Surakarta. Akhirnya pada tanggal 11 Juni 2004, Pakubuwana XII dinyatakan wafat. Sepeninggalnya sempat terjadi perebutan takhta antara KGPH. Hangabehi dangan KGPH. Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
Pakubuwana XIII
KGPH. Hangabehi. Bertakhta 10 September 2004 - sekarang. Gelar Pakubuwana XIII awalnya diklaim oleh dua pihak, setelah wafatnya Susuhunan Pakubuwana XII tanpa putra mahkota yang jelas karena ia tidak memiliki permaisuri, maka dua putra Pakubuwana XII dari ibu yang berbeda saling mengakui takhta ayahnya.
Keduanya mengklaim pemangku takhta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar Pakubuwana XIII.
Konflik Raja Kembar tersebut berlangsung selama sekitar delapan tahun, hingga pada tahun 2012 dualisme kepemimpinan di Kasunanan Surakarta akhirnya usai setelah KGPH. Tejowulan mengakui gelar Pakubuwana XIII menjadi milik KGPH. Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang diprakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI.
Sebagai raja Kasunanan Surakarta yang secara tradisional dianggap sebagai figur pelindung kebudayaan Jawa, Pakubuwana XIII aktif memimpin langsung pelaksanaan upacara-upacara adat dan menghadiri peresmian perkumpulan abdidalem di berbagai daerah. Seperti yang pernah dilakukan kepada beberapa wali kota Surakarta sebelumnya, pada 20 September 2021 Pakubuwana XIII secara langsung memberikan gelar kebangsawanan kepada Wali Kota Gibran Rakabuming Raka.
Pakubuwana XIII. |
Pada 27 Februari 2022 Susuhunan Pakubuwana XIII mengangkat KGPH. Purbaya, yang merupakan putra laki-lakinya yang lahir dari permaisuri, sebagai putra mahkota Kasunanan Surakarta dengan gelar KGPAA. (Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) Hamangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram.(**)
Sumber : surakarta. Pro