Petirtaan Jolotundo atau Candi Jolotundo, |
Gubernur Jatim pernah membawa sumber mata air lereng Penanggungan saat prosesi penyatuan air dan tanah dari seluruh Nusantara di IKN pada 14 Maret 2022.
Angin semilir yang menerbangkan udara sejuk pegunungan tak menyurutkan langkah lima pasang laki-laki berpakaian serba hitam membawa tongkat bersambung logam beraneka bentuk berujung tajam menyerupai senjata.
Rangkaian bunga melati segar menjuntai di antara penyambung tongkat kayu dan logam menebarkan harum semerbak. Pakaian mereka mengingatkan kita akan prajurit era kerajaan Nusantara tempo dulu.
Barisan laki-laki berseragam hitam itu mengiringi dua lapis barisan di depannya. Yaitu, delapan perempuan cantik berkebaya batik cokelat dan mahkota di kepala berhias bunga mawar hijau muda dan merah. Untaian bunga melati segar ikut menjuntai dari rambut belakang yang disanggul, kemudian turun melewati kedua bahu hingga ke pinggang. Tangan kedelapan perempuan bak bidadari turun dari kayangan itu mendekap wadah mirip mangkuk dari tembaga berisi aneka kelopak bunga serta dua dupa yang menyala dan menebarkan bau khas.
Kepala barisan dipimpin tiga pria, dua berpakaian serba hitam dengan keris terselip di pinggang kanan dan seorang lainnya berjubah serba putih hingga semata kaki. Si jubah putih memegang sebilah tongkat hitam dan membiarkan rambut panjang sebahunya sesekali tersibak tiupan angin. Ada udeng atau penutup kepala pria khas Bali mereka kenakan. Rangkaian barisan bertelanjang kaki ini terus melangkah melahap aspal hitam yang membawa mereka menuju sebuah rute sedikit mendaki.
Tepat di belakangnya menyemut ratusan masyarakat mengekor langkah barisan istimewa tadi. Ada yang memakai beskap, meski tak sedikit pula berpakaian kemeja batik atau kaos aneka rupa. Beberapa dari mereka terlihat membawa kendi tanah liat warna hitam. Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Tepat di depan mereka ada sebuah kolam besar berair jernih dilatari dinding berukir indah yang mengeluarkan air.
Kolam berisi ikan mas dan koi itu membelakangi sebuah tebing yang disesaki aneka pepohonan besar nan hijau. Seluruh rombongan kemudian mengitari sisi kiri dan kanan kolam berukuran 16,85 meter x 13,52 meter dan kedalaman sekitar 5,2 meter yang terisi air tak lebih dari setinggi dengkul orang dewasa. Kendi berjumlah 33 buah terisi air kemudian diletakkan berjejer pada salah satu sisi kolam.
Tiga pria di barisan terdepan kemudian masuk kolam menuju ke pancuran bermata 16 yang mengalirkan air dingin sambil mulut mereka komat-kamit seperti sedang merapal doa. Mereka menjadi tontonan seluruh rombongan. Suasana kemudian hening. Hanya terdengar suara gemerisik air jatuh dari pancuran ditingkahi kicau burung dan desir daun pepohonan saling bergesek diterpa angin. Inilah prosesi awal dari kegiatan budaya unduh atau semacam ruwatan Petirtaan Jolotundo atau Candi Jolotundo, Senin (24/7/2023) yang lalu.
Letak petirtaan di sebuah kawasan hijau seluas 3.019,75 meter persegi pada ketinggian 525 meter di atas permukaan laut (mdpl) tepat pada lereng barat Gunung Penanggungan, Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Masyarakat Jawa kuno mengenal dataran setinggi 1.653 mdpl ini sebagai daerah suci bernama Gunung Pawitra, seperti disebut dalam kitab Negarakertagama. Pawitra sendiri diartikan sebagai sumber air.
Ruwatan yang digelar masyarakat Seloliman merupakan bentuk syukur mereka kepada Sang Pencipta atas berkah limpahan air tiada henti dari kolam Petirtaan Jolotundo yang mengaliri kebun dan sawah mereka. Airnya pernah dibawa Gubernur Khofifah Indar Parwansa ke lokasi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur saat prosesi penyatuan tanah dan air dari seluruh Nusantara, 14 Maret 2022.
Terbaik Kedua
Air Petirtaan Jolotundo bersumber dari mata air Penanggungan yang dikelilingi empat gunung lebih kecil, yakni Saraklopo (1.275 mdpl), Bekel (1.238 mdpl), Kemuncup (1.227 mdpl), dan Gajahmungkur (1.087 mdpl). Masih ada lagi empat lain yang lebih tepat disebut bukit seperti Semodo (719 mdpl), Jambe (747 mdpl), Bende (927 mdpl), dan Wangi (987 mdpl). Kedelapan gunung dan bukit tadi berada tepat di sekitar Penanggungan seperti membentuk delapan penjuru mata angin.
Air dari ke-33 kendi berasal dari mata air di kedelapan tempat tersebut yang kemudian disatukan ke kolam Petirtaan Jolotundo dalam acara ruwatan. Lokasi petirtaan sekitar 55 kilometer Surabaya, ibu kota Jatim dan dapat ditempuh perjalanan darat selama 1,5 jam. Atau hanya 30 menit dari pusat Kota Mojokerto, menyusuri ruas mulus mendaki sejauh 30 km ke arah barat. Tiket masuknya sebesar Rp10.000 per orang dan terbuka selama 24 jam.
Kesejukan airnya sudah terkenal dan kualitasnya nomor dua terbaik di dunia setelah zamzam di tanah suci Makkah, Arab Saudi. Pengujiannya pernah dilakukan sebanyak tiga kali. Penelitian perdana dilaksanakan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan pada tahun 1984. Langkah serupa turut dilakukan tim arkeologi Indonesia-Belanda pada 1991 dan terakhir oleh Ikatan Dokter Indonesia Pusat di 1994.
Petirtaan dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai patirtan atau tempat berkumpulnya air dan merupakan lokasi istimewa bagi raja tempo dulu. Seperti dikutip dari buku Patirtaan Jalatunda karya guru besar arkeologi Universitas Leiden, Belanda, Frederik David Kan Bosch pada 1965, semua berawal dari keinginan Raja Udayana untuk membangun sebuah tempat pemandian khusus di lereng Pawitra.
Ini sebagai bentuk syukur atas kelahiran Airlangga, buah hati dari pernikahan Udayana dengan Mahendradatta atau dikenal pula sebagai Putri Gunapriya Dharmapatni. Tempat itu ia namai Jolotundo. Jolo berarti air dan tundo adalah bertingkat yang bermakna pemandian air bertingkat atau berundak seperti terlihat sekarang ini. Pada pahatan di salah satu undakan tertera aksara tiga angka Jawa kuno bertuliskan 899 dalam tarikh Saka atau 977 Masehi.
Bosch meyakini itu sebagai tahun berdirinya Jolotundo atau sekitar 1.046 tahun lampau. Ini sama seperti periode ditemukannya kembang api oleh dinasti di Tiongkok dan dipakai sebagai bahan peledak pertama kali di dunia. Pada dinding-dinding Jolotundo ini diukir relief cerita Mahabharata dan kelahiran Udayana berdasar kisah Kathasaritsagara, dari kitab pertama Mahabharata. Selama ratusan tahun setelahnya, petirtaan ini ditinggalkan pengikutnya.
Surveyor Hindia Belanda Johannes Willem Bartholomeus Wardenaar menemukan kembali pemandian tersebut pada 1815 saat penjelajahan belantara Jatim atas perintah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Saat ditemukan, kondisinya berantakan dan tertutup semak belukar. Terdapat hiasan batu andesit berbentuk oval menyerupai bunga teratai atau padma pada bagian utama yakni di dinding sebelah timur.
Batu-batu andesit yang dihaluskan ini memiliki lubang tempat mengucurnya air. Ada 16 lubang pancur di tingkat terbawah dan 14 lubang pancur di undakan berikutnya. Air bersih tampak mengalir deras dari lubang-lubang pancur tadi dan jatuh ke kolam di bawahnya. Pada masanya, Petirtaan Jolotundo juga menjadi lokasi semedi favorit raja-raja Kerajaan Majapahit yang berkuasa di tanah Mojokerto antara abad 13 sampai abad 15.
Konsep Mutakhir
Arkeolog Universitas Negeri Malang M Dwi Cahyono menyakini, pemandian tersebut telah ada jauh sebelum Udayana, atau ketika Kerajaan Medang berkuasa di periode Mataram kuno dari Wangsa Isyana di Jatim. Ia menyebut, awalnya petirtaan itu berwujud empat undakan atau tingkat dan hanya tersisa dua tingkat. Hal itu ia ungkapkan dalam sebuah siniar daring terkait Jolotundo di platform media sosial Youtube.
Pada tingkat kedua ada sebuah bidang datar mirip altar yang semula menjadi tempat berdirinya arca Raja Airlangga berwujud Dewa Wisnu menunggang garuda. Arca tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan. Kemudian, di kedua sisi undakan pancuran ada dua bilik, sisi kiri ada tempat khusus perempuan dengan penanda air memancur dari mulut arca naga. Selanjutnya sisi kanan untuk pria terdapat pancuran air mulut arca garuda.
Dwi Cahyono menilai, arca naga melambangkan feminisme dan garuda mewakili maskulitas. Petirtaan Jolotundo dibangun dengan konsep mutakhir di eranya. Yaitu mengalirkan mata air lereng Penanggungan melewati terowongan bawah tanah dan menembus ke kawasan petirtaan. Bukan itu saja, air ini kembali dialirkan melewati drainase bawah tanah menuruni perbukitan Petirtaan Jolotundo menuju kawasan permukiman sebagai air bersih dan sumber pengairan irigasi sawah warga.
Hal tersebut turut dibenarkan Lektor Kepala Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial UNM Ismail Lutfi saat diskusi melalui kanal Youtube Balai Pelestari Kebudayaan Wilayah XI Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Menurutnya, debitnya tak pernah berubah, selalu deras, sejuk, dan sangat jernih.
"Seiring waktu, Petirtaan Jolotundo yang ditemukan kembali di abad modern dikembangkan sesuai kebutuhan masyarakat sambil mempertahankan fungsi awal selaku tempat suci serta living monument dan tempat ibadah umat Hindu serta edukasi untuk wisata minat khusus. Misalnya metri banyu atau penghormatan kepada fungsi dan kelestarian air yang telah dianut sejak era masyarakat Jawa kuno. Mereka menganggap air bagian dari kesucian dan harus terus dijaga," ungkap Ismail.
Air memang harus dijaga karena bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Oleh sebabnya, air mesti dirawat dan dipelihara. Ini tak lain agar air dapat terus lestari dan menghidupi peradaban manusia termasuk menjalankan esensi luhurnya, jatuh dari langit menuju setiap lekukan di bumi dan memenuhi kolam-kolam manusia supaya terus menjadi sumber kehidupan.(**)
Sumber : indonesia. go.id