Mengapa Empu-empu hebat berganti-ganti nama menyesuaikan tempat di mana dia berkarya dan bahkan demikian pula dia mengubah-ubah ciri khas garapnya seiring perubahan jejuluk dan lokasi itu?
Ambil contoh misalnya Empu Supa Mandrangi, Empu paling masyhur di zaman Majapahit yang menurut Serat Cariyosing Para Empu Ing Tanah Jawi merupakan putra Empu Sedah dari Blambangan.
Ketika masih muda di Blambangan namanya Empu Rambang. Ketika bertapa di Tuban dan kemudian mengabdi ke Majapahit, ia dijuluki Ki Supa Mandrangi. Ketika diutus ke Blambangan untuk menyelidiki hilangnya salah satu pusaka Majapahit, Kyai Jalak Sumelang Gandring atau dalam versi lain Kyai Sengkelat, beliau berganti nama menjadi Empu Pitrang. Ketika pulang ke Majapahit dia diganjar tanah lungguh 500 karya serta dinikahkan dengan seorang putri menjadilah beliau sebagai Empu Pangeran Sedayu.
Adik Supa Mandrangi bernama Empu Supadi, ketika mengabdi di Majapahit juga sulih asma menjadi Empa Supagati.
Versi lain menyebutkan, Ayah Supa Mandrangi adalah Empu Tumenggung Supadriya di Majapahit, yang bersaudara dengan Empu Supagati. Putra Supagati, Jigja, juga menjadi Empu kondang sebagaimana Ayah, Uwak, dan sepupunya. Kedua Empu muda ini dikenal dalam cerita rakyat dikenal mampu mengatasi Kyai Condong Campur yang menebar wabah dengan Kyai Sengkelat dan Kyai Sabuk Inten karya mereka.
Masih menurut 'Cariyosing Empu' dan Serat Paniti Kadga, selain berputra Jaka Sura dari putri Blambangan, pernikahan Supa Mandrangi dengan adik Sunan Kalijaga melahirkan Empu Jaka Supa. Sang Jaka Supa ketika di Madura dikenal sebagai Empu Macan, ketika pindah ke Surabaya namanya menjadi Empu Kodok.
Di zaman Pajang, beliau dikenal sebagai Empu Umyang. Konflik dengan Empu Cublak membuat beliau menyingkir ke Madiun sebagai Empu Tundung.
Beliau lalu menetap di Kudus hingga di masa Sultan Agung beliau dipanggil untuk memimpin para Empu Tindih, tetungguling Empu Sadomas yang beranggotakan 800 Empu Pakelun yang yasa berbagai senjata atas dhawuh Sang Hanyakrakusuma.
Karena penampilannya yang awet muda maka beliaupun dikenal sebagai Empu Supa Anom atau Empu Kinom.
Barangkali karena demikian dahsyatnya ilmu para Empu, yang guru kami Bp. Boedhi Aditya pernah menggambarkan kualifikasinya setara dengan Doktor di bidang Metalurgi, Doktor bidang Filosofi, Doktor bidang Seni, dan Doktor bidang Agama sekaligus di zaman kita, maka posisinya dalam urusan kenegaraan menjadi at vital. Karyanya yang menjadi pusaka Kerajaan setara sebagaimana penguasaan atas senjata nuklir di zaman kita.
Dengan demikian, para Raja pasti berusaha mempekerjakan Empu terbaik untuk keagungan kerajaannya. Demi itu, kedudukan sang Empu diangkat sebagai pejabat tinggi (semisal Empu Tumenggung Supadriya), bahkan setara Pangeran (Empu Pangeran Sedayu).
Empu yang menolak untuk bekerja kepada Raja, tentu akan dianggap sebagai sebuah pemberontakan yang harus ditumpas, sebab potensi bahaya yang dapat ditimbulkannya jika dia bekerja pada pihak lain.
Barangkali uraian ini menjawab pertanyaan di awal. Dengan persepsi demikian terhadap seorang Empu, amat wajar dia mengubah nama dan mengubah ciri khas garapnya ketika berada di tempat berbeda dengan penguasa berbeda pula. Semoga pula uraian ini semakin membuat kita mampu mengapresiasi betapa hebatnya karya para Empu ini.(salimafillah/*)
Terlampir foto sebuah keris, apakah pamor nyekrak bagai dikuas di atas uledan besi seperti ini bisa menjadi penanda tangguh dan Empunya?