Giri Dewata atau Ki Gedeng Kasmaya merupakan penguasa pertama Cirebon Girang yang bertahta di gunung Cimandang (gunung Cangak). Ki Ageng Kasmaya adalah putra Mangkubumi Bunisora Suradipati Prabu Kuda Lalean (1357-1371), Raja Sunda Galuh di Kawali, menggantikan kakaknya Prabu Linggabuana (Prabu Wangi) yang meninggal di Bubat. Jabatan ini mewakili pewaris takhta yang sah, yaitu putra Prabu Linggabuana bernama Niskala Wastu Kancana yang saat itu masih berusia 9 tahun.
Mangkubumi Bunisora Suradipati Prabu Kuda Lalean menurunkan 4 anak, yaitu :
1. Ki Gedeng Kasmaya
2. Bratalegawa
3. Ratu Banawati (Ratu di wilayah Galuh)
4. Dewi Mayangsari yang kemudian diperistri oleh Prabu Niskala Wastu Kancana.
Dalam hal ini Prabu Niskala Wastu Kencana yang merupakan adik dari Dyah Pitaloka Citraresmi adalah keponakan sekaligus menantu dari Sanghyang Bunisora.
Bratalegawa adalah orang Sunda pertama yang tercatat memeluk agama Islam. Ia adalah seorang pangeran dan saudagar dari Kerajaan Galuh, Sebagai seorang saudagar, Bratalegawa banyak melakukan perjalanan perdagangan ke luar daerah Nusantara. Keterangan ini tercantum dalam Carita Parahyangan, Carita Purwaka Caruban Nagari, Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.
Ia mulai mengenal Islam saat melakukan perjalanan ke India, dimana ia mulai berinteraksi dengan para pedagang Arab yang juga berdagang disana. Ia lalu masuk Islam dan menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Bratalegawa kemudian mengganti namanya menjadi Haji Baharudin al-Jawi atau dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh.
Bratalegawa dan keluarganya pulang ke Kawali, ibukota Galuh pada tahun 1337 dan menetap di Cerbon Girang sambil berdakwah menyebarkan Islam. Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Bratalegawa di Cerbon Girang menghasilkan terbentuknya komunitas muslim pesisir pertama di wilayah tatar Sunda.
Cerbon Girang yang dudirikan pada 1445 oleh kakak Bratalegawa, Giri Dewata (Ki Gedeng Kasmaya) yang berada dibawah kekuasaan Galuh Kawali merupakan kelanjutan dari kerajaan kuno Cirebon Indraprahasta dan kerajaan Wanagiri. Ki Gedeng Kasmaya menikah dengan putri Prabu Gangga Permana, Penguasa kerajaan Wanagiri dan berputra Ki Gedeng Cerbon Girang, Ki Gedeng Sanggarung, Indang Sakati, Lara Ruda dan Ratna Kranjang.
[Indraprahasta yang berada di Cerbon Girang, lereng gunung Cermai (Indrakila) didirikan oleh Maharesi Sentanu dari kawasan sungai Gangga India pada 363 M yang mengungsi ke pulau jawa karena negaranya diserang pasukan Samudra Gupta. Indrapragasta kelak dihancurkan oleh Sanjaya karena mendukung Purbasora. Adapun kerajaan Wanagiri adalah kerajaan vasal dari Tarumanegara yang sempat menjadi markas pemberontakan Cakrawarman sebelum akhirnya ditumpas oleh Purnawarman (395-454M).
Adapun Prabu Niskala Wastu Kencana yang menikah dengan Dewi Mayangsari, putri bungsu Sanghyang Bunisora menurunkan:
1. Prabu Dewa Niskala
2. Ki Gedeng Sindangkasih (Juru Pelabuhan Muarajati Cerbon)
3. Ki Surawijaya Sakti penguasa negeri Singapura
4. Ki Gedeng Tapa
Setelah Ki Ageng Sindangkasih meninggal, selanjutnya Ki Ageng Tapa menggantikan kedudukkannya menjadi juru labuhan dengan gelar Ki Ageng Jumajan Jati. Adapun Ki Gedeng Surawijaya Sakti setelah wafatnya yang tidak meninggalkan putra diganti oleh Ki Gedeng Cerbon Girang, putra sulung Ki Gedeng Kasmaya.
Ki Gedeng Tapa kelak masuk Islam ditangan seorang ulama Champa yaitu Syekh Quro yang bernama asli Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik yang datang ke Muara Jati pada 1418. Nyai Subanglara, putri dari Ki Gedeng Tapa yang bernama asli Kubang Kencana Ningrum diserahkan sebagai Syekh Qura untuk dididik agama.
Pada saat itu bandar Muara Jati berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan kecil Singapura. Setibanya di pelabuhan Muara Jati, Syekh Hasanudin mendirikan pasantren di daerah Pura, Desa Talagasari, Karawang, dengan nama Pesantren Quro, maka dari itu kemudian ia lebih dikenal dengan nama Syekh Quro.
Nyai Subanglara, putri dari Ki Gedeng Tapa yang bernama asli Kubang Kencana Ningrum dititipkan kepada Syekh Qura untuk dididik agama Islam. Kelak Nyai Subanglarang yang berumur 18 tahun dinikahi oleh Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi) putra Prabu Dewa Niskala putra Prabu Niskala Wastu Kencana. Dari pernikahan tersebut menurunkan Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Rara Santang dan Raden Sengara (Raden Kian Santang).
Selain menikahi putri Ki Gedeng Tapa, sebelumnya Raden Pamanah Rasa juga menikahi putri Ki Gedeng Sindangkasih, yaitu Nyai Ambet Kasih yang menurut Babad Pasir menurunkan:
1. Banyak Catra atau Kamandaka
2. Banyak Ngampar (Gagak Ngampar)
3. Ratna Pamekas (Retna Ayu Mrana)
Ki Gedeng Cerbon Girang (putra sulung Ki Gedeng Kasmaya) selaku penguasa negeri Singapura kelak menikahkan putrinya dengan Ki Danusela / Ki Gedeng Alang-alang (adik pendeta Buddha Ki Danuwarsih)
yang menggantikan kedudukannya sebagai Kuwu Cerbon Girang.
Ki Danusela kemudian menikahkan putrinya yang bernama Retna Riris / Kancana Larang dengan Raden Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana) yang kelak menggantikannya sebagai Kuwu Cerbon Girang / Caruban Larang. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang putra yang bernama Pangeran Cerbon. (kelak setelah dewasa menjadi kuwu di Cirebon Girang).
Sebelum itu Raden Walangsungsang telah menikahi putri Ki Danurwarsih yang bernama Nyi Endang Geulis. Bersama istrinya tersebut ia berguru kepada Sech Nurjati alias Syekh Dzatul Kahfi di Cirebon. Setelah diterima menjadi murid Raden Walangsungsang berganti nama menjadi Ki Somadullah. Dari pernikahan tersebut terlahirlah putri Pakungwati yang kelak dinikahi oleh Sunan Gunungjati.
Adapun adik Pangeran Cakrabuana yang bernama Rara Santang menikah dengan Raja Champa, Sayyid Abdullah Umdatuddin alias Syekh Israel Yakub putra Sayyid Nurul Alam putra Sayyid Husain Jamaluddin Azmat Khan dan menurunkan dua orang putra yaitu:
1. Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunungjati, pendiri Kesultanan Cirebon
2. Wan Abul Muzaffar Waliyyullah yang keturunannya menjadi raja-raja Champa, Kelantan dan Patani.
● Jejak Ki Gedeng Kasmaya