Syarif Hidayatullah (1448-1568) merupakan tokoh sentral dalam sejarah Cirebon. Sebagai putra yang terlahir dari pasangan bangsawan Champa-Pajajaran, Syarif Abdullah Umdatuddin dan Rara Santang (Syarifah Mudaim), ia gemar menimba ilmu di berbagai tempat di Asia Barat. Setelah berguru di Mekah, Baghdad, Campa dan Samudra Pasai. Atas nasehat Maulana Ishak, maka pada 1470 Syarif Hidayatullah pulang kembali ke Pulau Jawa.
Mula-mula tiba di Banten yang diketahui penduduknya telah banyak yang masuk Islam di tangan Sunan Ampel ketika perjalanan dari Champa ke Majapahit menyusul bibinya (putri Champa) yang dinikahi oleh pembesar Majapahit. Maka Syarif Hidayatullah pun berkeinginan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Dalam perjalanan menuju Ampeldenta, Syarif Hidayatullah sempat singgah di Kudus dan berguru kepada Datuk Barus.
Sesampainya di Ampeldenta, Syarif Hidayatullah berguru kepada Sunan Ampel dan banyak dilibatkan dalam banyak musyawarah terkait dakwah Islam di tanah Jawa. Sunan Ampel menugaskan Syarif Hidayatullah untuk memulai berdakwah di Jawa Barat dikarenakan Syarif Hidayatullah masih terhitung sebagai trah Pajajaran, yaitu cucu Prabu Siliwangi dan keponakan Pangeran Cakrabuana.
Syarif Hidayatullah datang di Caruban Larang pada tahun 1475. Pangeran Cakrabuana menyambut dengan gembira dan memberinya tempat di Pesambangan. Keduanya membangun pesantren guna meneruskan usaha Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi) di Giri Amparan Jati. Syekh Nurjati merupakan Guru dari Pangeran Cakrabuana, pemilik Suluk Walangsungsang.
Syekh Nurjati adalah putra dari Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayah dari Syekh Siti Jenar (Syekh Abdul Jalil). Jadi Syekh Datul Kahfi adalah saudara sepupu dari Syekh Siti Jenar.
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah dan yang mempunyai pondok di Mekah seorang adik wanita yang dinikahi oleh Sultan Sayyid Ismail dari Pulau Besar Malaka yang menurunkan Syarifah Zibaidah yang dinikahi oleh Dipati Unus dan menurunkan Abdullah Malaka (Arya Jepara).
Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di wilayah Cirebon; serta seorang adik wanita yang menikah dengan Sultan Sayyid Ismail dari Pulau Besar dan menurunkan Syarifah Zubaidah yang dinikahi Dipati Unus dan menurunkan Abdullah Malaka (Arya Jepara).
Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah (Ratna Jatiningsih), adik dari Abdullah Umdatuddin (ayah Syarif Hidayatullah). Dari pernikahan tersebut terlahirlah empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan), Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh Datul Khafid.
Syekh Nurjati datang bersama 10 orang laki-laki dan 2 perempuan ke Muara Jati pada 1420, empat tahun setelah kedatangan Syekh Quro pada ke Muara Jati pada 1416. Rombongan Syekh Nurjati diterima oleh Ki Gedeng Tapa (ayah Subang Larang) yang telah masuk islam ditangan Syekh Quro. Syekh Nurjati diberi izin untuk tempat di Pesambangan di sebuah bukit di Giri Amparan Jati.
Di Giri Amparan Jati Syekh Nurjati mendirikan pesantren dan mengajarkan agama Islam kepada cucu Ki Gedeng Tapa: Raden Walangsungsang dan Rara Santang. Kelak Syekh Nurjati menikah Halimah (cucu Bratalegawa/Haji Purwa Galuh). Dari pernikahan keduanya terlahirlah seorang putri yang bernama Nyi Ageng Muara yang menikah dengan Ki Gede Krangkeng. Krangkeng sekarang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Indramayu.
Pada 1479, dengan dukungan Raden Patah dari Demak dan Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Penguasa Caruban Larang yang ke 2 menggantikan pamannya Pangeran Cakrabuana dengan Gelar Maulana Jati.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pakuan Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya, Prabu Siliwangi dan mengajaknya untuk masuk Islam tetapi belum bersedia, tetapi beliau tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Banten Girang dimana sebagian penduduknya sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh Penguasa (Pucuk Umum) Banten Girang Sang Sorosuwan, adik Sanghyang Surawisesa putra Prabu Siliwangi dengan Nyai Kentringmanik, putri Prabu Susuk Tunggal.
Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Sang Sorosuwan yaitu Nyai Kawunganten, adik Arya Surajaya. Dari pernikahan ini kelak Syarif Hidayatulullah dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon / Ratu Wulung Ayu lahir pada 1477 M (menikah dengan dan Pangeran Atas Angin di Jambu Karang) dan Pangeran Sabakingkin pada 1478 M yang kelak menjadi Sultan Banten pertama (1552-1570) dan membangun benteng Sorosuwan pada 1526-1570.
Selanjutnya Syarif Hidayatullah kembali ke Caruban Larang meneruskan kedudukan Pangeran Cakrabuana dan nenikahi putrinya, Nyi Mas Pakungwati serta menjadikannya sebagai permausuri. Sebagai wujud kecintaan kepada sang permaisuri Syarif Hidayatullah membangunkan baginya Masjid Pakungwati dengan arsitek Sunan Kalijaga dan Raden Sepat. (Kelak pada 1970 masjid tersebut berganti nama menjadi Masjid Agung Sang Cipta Rasa).
Ketika Sunan Ampel wafat pada 1481, maka dalam musyawarah dewan Walisongo di Tuban, Syarif Hidayatullah diangkat sebagai penggantinya dan bergelar Sunan Gunungjati dengan tugas menguslamkan tanah Pasundan. Beliau menetap di gunung Sembung sebagai pusat keagamaan dan Keraton Pakungwati sebagai pusat pemerintahan (kelak menjadi keraton Kasepuhan).
Sebelumbya Pangeran Cakrabuana selalu mengirim upeti ke Galuh Pakuan di Kawali. Tetapi ketika Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) menggabungkan kerajaan Galuh Pakuan dan Sunda menjadi Pakuan Pajajaran pada 1482, maka Sunan Gunungjati membuat maklumat kepada Maharaja Pakuan Pajajaran untuk tidak lagi mengirim upeti. Hal itu dikarenakan Cirebon sudah menjadi wilayah yang berdaulat.
Peristiwa merdekanya Cirebon dari kekuasaan Pajajaran tersebut dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, (tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka) yang bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.
Ketika itu Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) baru saja menempati istana Sang Bhima di Pakuan Pajajaran dari istana sebelumnya, Surawisesa di Galuh Pakuan. Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat telah berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 prajurit yang dikirim oleh Sri Baduga dari Pakuan ke Cirebon untuk menyelidiki berita keengganan Cirebon membayar upeti, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton yaitu Ki Purwa Galih dengan alasan Cirebon adalah warisan dari Raden Walangsungsang yang dahulu diangkat sebagai penguasa Caruban Larang dengan gelar Tumenggung Sri Mangana Cakrabuana. Atas dasar itu maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima Maharaja Pajajaran.
Tetapi keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:
1. Pangeran Hasanudin (putra Sunan Gunungjati dengan Nyai Kawunganten) dengan Ratu Ayu Kirana (putri Raden Patah).
2. Ratu Ayu (putri Sunan Gunungjati dengan Nyai Tepasana) dengan Pangeran Sabrang Lor (Senopati Sarwajala). Kelak sepeninggal Dipati Unus, Ratu Ayu dinikahi oleh Fatahillah.
2. Pangeran Jayakelana (putra Sunan Gunungjati dengan Nyai Lara Baghdad) dengan Ratu Pembayun (putri sulung Raden Patah).
4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan / Ratu Nyawa (putri Raden Patah).
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor - sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon.
Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan putra-putrinya (Walangsungsang & Rarasantang) diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam) belajar di Giri Amparan Jati pada Syekh Datul Kahfi.
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan).
Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Sumber :
Pengembaraan Sunan Gunung Jati dan Lahirnya Kabupaten Cirebon.
Biografi Syekh Nurjati.
Kerajaan Cirebon Larang.
Jejak Romantisme Sunan Gunung Jati-Nyi Mas Pakungwati di Masjid Sang Cipta Rasa.
Sri Baduga Maharaja - wikipedia.
Biografi Pangeran Cakrabuana.
Silsilah Kerajaan Banten Beserta Para Penguasanya.
Perjalanan Ilmu Sunan Gunung Jati.
Menelusuri Penyebaran Islam di Tanah Banten.