Selepas penyerangan pasukan Rajendra Chola ke Sriwijaya pada tahun 1025 dan Parameswara diserang Majapahit pada 1399 dan melakukan eksodus ke Tumasik (1399-1401) dan mendirikan Malaka (1402), maka bumi Palembang praktis mengalami "vacuum of power" atau kekosongan kekuasaan yang akhirnya diisi oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Chen Tsu Ji yang berhasil menguasai jalur perdagangan maritim di Selat Malaka dan berhasil menduduki Palembang dan menjadikan Palembang sebagai markas gerombolan mereka.
Tepat pada saat itu, sekitar tanggal 30 Maret sampai 28 April tahun 1405. Kaisar Yongle memberikan titah kepada Laksamana Cheng Ho dan beberapa pejabat lainnya untuk memimpin 27.000 tentara menuju Samudera Barat guna melaksanakan ekspedisi pelayaran harta atau disebut juga Ekspedisi Khazanah.
Laksamana Cheng Ho memulai perjalanannya ke Barat pada 11 Juli 1405, bisa dikatakan ekspedisi itu membawa hasil yang positif, hingga pada bulan April tahun 1407, Laksamana Cheng Ho membawa pasukannya yang bernama Armada Khazanah berbalik arah ke timur dan memulai perjalanan pulang menuju Tiongkok, bertolak dari Tanjung Comorin di ujung selatan Semenanjung India.
Pada perjalanan pulang, armada ini kembali singgah di Malaka, kemudian di Semenanjung Malaka inilah Laksamana Cheng Ho dan anak buahnya harus menghadapi gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Chen Tsu Ji yang telah lebih dahulu menguasi Palembang dan menindas rakyat Palembang kala itu.
Dalam kitab Taizong Shilu mencatat bahwa Chen Tsu Ji mencoba untuk kabur dan menghindari armada khazanah Cheng Ho. Sementara dalam kitab Mingshi mencatat bahwa justru gerombolan Chen Tsu Ji berencana untuk mencegat dan merampok Armada Khazanah.
Pertempuran pun tak dapat dihindari sehingga mengakibatkan 5000 bajak laut tewas, sepuluh kapal perompak dibakar, dan tujuh kapal perompak ditangkap. Chen Tsu Ji dan letnannya dihukum mati pada 2 Oktober 1407.
Berkat keberhasila Laksamana Cheng Ho menghabisi gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Chen Tsu Ji ini, maka pada 29 Oktober 1407, Kaisar Yongle memberikan mandat agar memberikan anugerah penghargaan kepada Panglima Cheng Ho beserta awak armada yang berperang melawan bajak laut.
Selepas keberhasilan menumpas kelompok Chen Tsu Ji, Laksamana Cheng Ho, mengembangkan komunitas masyarakat Tionghoa Muslim di wilayah ini, serta menyerahkan pengawasan palembang kepada seorang syahbandar bernama Shi Jinqing.
Kelak salah seorang putri dari Shi Jinqing yang bernama Nyai Gedhe Pinatih (Pi Na Ti), dikenal sebagai penyebar Islam di tanah Jawa dan menjadi ibu asuh dari Raden Paku (Sunan Giri).
Melemahnya pengawasan Dinasti Ming terhadap Palembang selepas wafatnya Kaisar Yongle tahun 1424, dimanfaatkan Majapahit untuk mengambil alih kontrol pelabuhan Kukang (Palembang).
Kesempatan itu muncul ketika Palembang dan sekitarnya terjadi kekacauan diantara para penguasa lokal setempat. Salah seorang kerabat istana Majapahit bernama Pangeran Arya Damar diutus ke Palembang untuk menjadi duta kerajaan.
Sang Pangeran dibantu tokoh penguasa lokal Demang Lebar Daun berhasil meredam konflik dan untuk memperkuat kedudukannya Pangeran Arya Damar menikah dengan salah seorang putri dari Demang Lebar Daun.
Selain itu Sang Pangeran diketahui memeluk Islam berkat dakwah salah seorang tokoh penyebar Islam Sunan Ampel dari Champa yang singgah ke Palembang, Banten Girang dan Surabaya.
Pengaruh Pangeran Arya Damar semakin hari semakin kuat dan akhirnya para pemimpin lokal setempat sepakat mengangkatnya sebagai Adipati Palembang di tahun 1445 yang mendapat dukungan dari penguasa Majapahit Ratu Suhita.
Di masa awal Prabu Kertawijaya sekitar tahun 1447, Pangeran Arya Damar yang dikenal dengan nama Adipati Ario Dillah kedatangan pengungsi dari Majapahit yakni Nyai Ratna Subanci, ibu asuh yang membawa seorang bayi bernama Raden Hasan. Nyai Ratna Subanci atau Siu Ban Ci adalah putri Syekh Bantiong (Tan Go Wat), seorang saudagar muslim dari Gresik, putra Syekh Quro Karawang putra Syekh Yusuf Sidiq putra Sayyid Jamaludin Husain Al Akbar.
Raden Hasan / Raden Patah adalah cucu Prabu Kertawijaya hasil pernikahannya dengan Dewi Dwarawati yang menurunkan Putri Champa 11 dan melahirkan Raden Hasan / Raden Patah. Putri Champa 11 sendiri telah memeluk agama Islam karena menikah dengan seorang bangsawan asal Champa yaitu Maulana Abdullah Champa.
Diperkirakan kedua orang tua Raden Hasan wafat ketika Raden Hasan masih kecil, oleh karenanya ia diungsikan oleh kakeknya Prabu Kertawijaya ke Palembang dibawa oleh ibu pengasuh bernama Nyai Ratna Subanci.
Maulana Abdullah Champa yang merupakan ayahanda Raden Hasan / Raden Patah diperkirakan pernah menjabat sebagai Bhre Kertabhumi yang merupakan wilayah Majapahit di sebelah utara Wengker.
Maulana Abdullah Champa sendiri dalam Manaqib Raden Patah Azmat Khan 1424-1518 Masehi, Melayu Culture tidak lain adalah Sayyid Abdullah Umdatudin bin Sayyid Nurul Alam yang bergelar Maulana Malik Israel. (Ada sejarawan yang mengatakan Raden Patah dan Fatahilah keturunan Israel karena terkecoh dengan gelar Maulana Malik Israel).
Latar belakang pengungsian ini adalah demi kesalamatan sang bayi yang keduanya telah wafat. Dikemudian hari ibu pengasuh sang bayi yakni Nyai Ratna Subanci menikah dengan salah seorang kepercayaan Adipati Ario Dillah yang bernama Arya Palembang.
Di Palembang Raden Hasan diasuh oleh saudara muda kakeknya Raden Arya Dillah yang menjabat Adipati Palembang. sementara Nyai Ratna Subanci kemudian menikah dengan salah seorang kepercayaan Arya Dillah yakni Arya Palembang.
Sosok Arya Palembang inilah yang sering disebut sebagai penerus Arya Dillah sebagai Adipati Palembang dan bergelar Arya Dillah 1l yang menggantikan posisi Arya Dillah (I) setelah yang bersangkutan mengundurkan diri sebagai Adipati Palembang.
Arya Palembang atau Adipati Arya Dillah (II) inilah yang sesungguhnya ayahanda dari Raden Kusen Adipati Terung dari pernikahannya dengan ibu asuh Raden Hasan / Sultan Demak Raden Fattah yaitu Nyai Ratna Subanci putri dari Syekh Bantiong dari Gresik.
Selain menikah dengan Nyai Ratna Subanci (ibu asuh Raden Hasan), Arya Palembang dikemudian hari juga diangkat menantu oleh Adipati Aryo Dillah 1 dengan menikahi salah srorang dari putrinya. Adapun istri Arya Palembang yang lain adalah Nyimas Sahilan binti Syarif Husein Hidayatullah (Menak Usang Sekampung).
Pada tahun 1392 Saka (1470 Masehi), Arya Palembang (Adipati Arya Dillah II) memimpin pasukan Palembang menyerang Semarang dan mengangkat salah seorang puteranya yaitu Raden Sahun menjadi Adipati Semarang dengan gelar Pangeran Pandanarang.
Setelah Arya Palembang (Arya Dillah ll) wafat penguasaan Palembang diserahkan kepada Syahbandar Pai Lian Bang. Pengangkatan Syahbandar Pai Lian Bang bersifat sementara, karena pada saat Arya Palembang (Arya Dillah II) wafat belum ditemukan calon pengganti yang pantas.
Salah satu penyebab cepatnya penyebaran Islam di masa kerajaan Majapahit adalah adanya tokoh Lembu Sura adik dari Prabu Wikramawardhana yang menjadi penguasa di daerah Surabaya (Kahuripan).
Pangeran Arya Lembu Sura diketahui menikah dengan putri tokoh muslim China Haji Bong Swi Hoo dan memiliki putra bernama Pangeran Arya Sena. Selain itu Pangeran Arya Lembu Sura juga menikah dengan putri Haji Bong An Sui dan memiliki putri bernama Ratna Wulan.
Putri Ratna Wulan binti Pangeran Arya Lembu Sura kemudian menikah dengan Adipati Tuban Haryo Tejo (Haji Gan Eng Chou) dan memiliki putri bernama Dewi Condrowati. Di kemudian hari Dewi Condrowati menikah dengan penyebar Islam Sunan Ampel.(*)
● Sumber :
- Malaya Culture, Yayasan Alam Melayu Sriwijaya: Manaqib Raden Fattah Azmatkhan 1424-1518 Masehi
- Forum Lingkar Sriwijaya, Pertempuran Cheng Ho melawan Chen Zuyi, bajak laut yang menguasai Palembang.
- Kanzulqalam, Misteri Penguasa Palembang (1407-1528) dari era Laksamana Cheng Ho sampai menjelang Kekuasaan Ki Gede ing Suro dan Silsilah Kekerabatan Keluarga Majapahit, Champa dan Sunan Ampel.