Sunan Gisik memiliki nama asli Sayyid Fadhal Ali Murtadlo, beliau adalah putra dari Syaikh Maulana Ibrahim As-Samarqandi bin Jamaluddin Akbar Khan bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik al-Muhajir bin Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Sohibul Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alawi ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Alawi Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW. Ibu beliau bernama Dewi Candrawulan (Chandravati).
Dewi Candrawulan merupakan putri Sultan Kuthara (Kerajaan Champa) yang bernama Bong Tak Keng dari pernikahannya dengan Putri Indravarman VI (Putri Raja Champa).
Bong Tak Keng berasal dari Suku Hui beragama Islam yang mendapat amanah menjadi pimpinan Komunitas Cina di Champa sekaligus Duta Cina untuk Champa oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Po Bo/Haji Mahmud Shams) dari Dinasti Ming.
Dewi Candrawulan (istri Sayyid Ibrahim Akbar Samarkandi) yang berputra Sayyid Ali Murtadha dan Sayyid Ali Rahmat (Suban Ampel) adalah saudari kandung putri Dwarawati istri Prabu Brawijaya dari Majapahit yang melahirkan Raden Patah, Sultan Demak pertama.
Nama Sunan Gisik bermakna guru agama atau tokoh yang dihormati yang berada di pesisir. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat.
Sedangkan dalam catatan Cina, kata sunan yang menjadi panggilan para anggota wali, dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kependekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yg berarti guru. Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan.
Gisik dalam bahasa jawa berarti pantai, yakni merujuk pada lokasi dakwah Sunan Gisik berada di pesisir Gresik yang memiliki geografis perbukitan (giri) sekaligus pesisir (gisik).
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Gisik melakukan perjalanan dakwah ke tanah Jawa bersama ayah dan adiknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sunan Gisik adalah Syekh Maulana Ibrahim Akbar Samarakandi dan adiknya bernama Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel).
Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar. Akan tetapi, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Selanjutnya Sunan Gisik meneruskan perjalanannya, beliau berdakwah keliling ke daerah Madura disini beliau mendapat sebutan "Sunan Lembayung Fadhal."
Sunan Lembayung Fadhal menyebarkan agama Islam di Sapudi.
Hingga saat ini, makamnya (petilasan?) tetap dikeramatkan oleh warga Sapudi. Orang menyebutnya dengan Rato Pandita. Kuburannya saat ini disebut Asta Nyamplong.
Menurut cerita tutur, nama sepudi berasal dari kata-kata sepuhdhewe (bahasa jawa) dengan artian “yang tua sendiri”atau lebih tua (awal) masuknya agama Islam di Sumenep.
Banyak diantara keturunan beliau menjadi penyebar agama Islam dan juga raja baik di Madura maupun di Nusa Tenggara. Beliau juga berdakwah di Nusa Tenggara hingga ke Bima, disana beliau mendapat sebutan “Raja Pandhita Bima”.
Dalam rantai silsilah Raja Bima yang tercantum dalam Bo’ sangaji Kai, beserta penjelasan-penjelasannya, kita akan dibuat sedikit terkejut dengan munculnya nama-nama dan istilah islam yang disebutkan.
Hal ini dapat dijumpai pada kepemimpinan Rumata Mawa’a Bilmana. Jadi sebelum Abdul Kahir I, kerajaan Bima pernah dipimpin oleh seorang Raja Muslim, yakni Sunan Gisik sendiri sebagai utusan dari kerajaan Majapahit.
Sebagaimana diketahui Sayyid Nurul Alam salah satu paman Sunan Gisik telah diangkat sebagai Pate Arya Gajahmada di Kelantan dan kerajaan Bima sendiri termasuk salah satu yang kerajaan ditaklukkan Majapahit.
Nama beliau kurang terekam secara maknawiyah dalam dialek Bima saat itu, karena catatan mengenai beliau justru ada dalam riwayat resmi keturunan para Walisongo.
Dalam catatan sejarah menjelaskan bahwa beliau merupakan penyebar agama Islam pertama di Nusa Tenggara Barat yang kelak menjadi pondasi cikal bakal kerajaan Bima yang bernafaskan Islam “Ahlussunah wal Jamaah”.
Setelah berhasil mengislamkan daerah Madura dan Nusa Tenggara yang masyarakatnya semula kental suasana Budha dan Hindhu, Sunan Gisik diminta kembali ke Gresik.
Pada 9 April 1419 Syekh Maulana Malik Ibrahim Wafat, beliau menggatikan peran Syekh Maulana Malik Ibrahim sebagai imam penyebaran Islam di Gresik.
Beliau berdakwah di Gresik mendapat beberapa sebutan yakni “Raja Pandhita Wunut” serta sebutan yang sangat melekat dan banyak dikenal masyarakat adalah “Raden Santri”.
Sunan Gisik menikah dengan Rara Siti Taltun atau RA. Madu Retno binti Aryo Baribin dan mempunyai 4 anak bernama :
1. Usman Haji (Sunan Ngudung),
2. Haji Usman,
3. Nyai Gede Tundo, dan
4. Sayyid Ali Musytar (Panembahan Blingi).
1. Usman Haji (Sunan Ngudung) setelah dewasa meminang putri Tumenggung Wilwatikta dan mempunyai anak bernama Amir Haji atau Dja’far Sodiq atau (Sunan Kudus), dan Dewi Sujinah, istri Sunan Muria.
Sunan Kudus mempunyai putra Sunan Pakaos. Sedangkan Sunan Pakaos mempunyai putra sebanyak 12 orang.
Putra yang kesembilan bernama Sayyid Ahmad Baidlawi atau Pangeran Katandur. Saat ini, makamnya ada di Desa Bangkal, Sumenep dan sampai sekarang lebih dikenal dengan Asta Karang Sabu.
Syech Ahmad Baidawi (Katandur) diperkirakan datang ke Sumenep, pada abat ke-17. Kala itu, pemerintahan dipimpin Pangeran Lor dan Pangeran Wetan, sekitar tahun 1550-an. Diantara keturunan beliau adalah Kyai Kholil Bangkalan.
2. Haji Usman menikah dengan Siti Syari’at mempunyai anak bernama Amir Hasan (Sunan Manyuran Mandalika, (Lombok) dan mempunyai anak Raden Bindara Dwiryapadha atau Sunan Paddusan yang menyebarkan Islam pada sekitar tahun 1450an di Parsanga, Sumenep. (Menjadi menantu Jokotole, Madura).
Parsanga berasal dari dua suku kata, yakni Paregi dan Sanga’. Paregi artinya sumur sedangkan sanga berarti sembilan yang menunjukkan jumlah dari sumur yang dibuat oleh Raden Bindara Dwiryapadha dalam menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Dijelaskan, bahwa setiap orang yang akan masuk Islam, diharuskan melalui proses dimandikan. Baru berikrar dengan membaca dua kalimat syahadat dan diajarkan ilmu-ilmu agama. Warga Madura menyebut “Edudus" atau dimandikan.
Dari kebiasaan itu, Raden Bindara Dwiryapadha mendapat julukan Sunan Paddusan atau orang yang ahli dalam memandikan warga yang akan masuk Islam.
3. Sedangkan Nyai Gede Tondo menikah dengan Kholifah Husain (Sunan Kertoyoso) Sampang mempunyai anak Kholifah Suhuroh.
4. Sayyid Ali Musytar (Panembahan Blingi) memimpin pemerintahan di Sumenep menggantikan R. Agung Rawit, yaitu antara tahun 1386-1399 M dengan gelar Tumenggung Ario Polang Jiwo.
Panembahan Blingi mempunyai dua orang putra bernama Adipodai (Panembahan Winakrama) dan Adirasa (Panembahan Wirabata).
Dalam buku Babad Songennep (1914) karya Raden Werdisastra, nama Panembahan Blingi atau Balinge memang disebut sebagai sesepuh di Pulau Sepudi, ayah dari dua bersaudara pertapa sakti: Adipoday dan Adirasa.
Selain dengan Rara Siti Taltun, Sunan Gisik (Raden Santri) juga menikah dengan Dyah Retno Maningjum Binti Arya Tejo. Sunan Gisik wafat pada tahun 1317 Saka/1449 M atau bertepatan dengan 15 Muharam abad ke-8 Hijriyah.
Haul beliau diperingati setiap tanggal 15 Muharram. Beliau dimakamkan di Desa Bedilan, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Makam beliau hanya berjarak 100 M utara Alon-alon Gresik, atau hanya berjarak 200 M utara makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Beberapa nama lain/gelar beliau di antaranya:
1. Raja Pandhita Bima (ketika berdakwah di NTB)
2. Sunan Lembayung (ketika berdakwah di Madura)
3. Raja Pandhita Wunut
4. Dian Santri Ali
5. Raden Samat
6. Raden Atmaja
7. Ngali Murtolo
8. Ali Hutomo
9. Ali Musada
10. Sunan Lembayung Fadl
11. Fadl As-Samarqandiy.
Menurut Tubagus Nur Fadlil Banten, Sunan Kudus tercatat mempunyai 2 istri yaitu dengan putri Sunan Bonang yaitu Dewi Ruhil dan dengan putri Pangeran Pecat tandha Terung.
Dengan Dewi Ruhil menurunkan seorang putra bernama Amir Hasan.
Sementara yang dengan puteri Pangeran Pecat tandha Terung menurunkan 8 anak, yaitu:
1. Nyi Ageng Pembayun
2. Panembahan Palembang
3. Panembahan Mekaos Onggokusumo
4. Panembahan Kodi
5. Panembahan Karimun
6. Panembahan Joko
7. Ratu Pakojo
8. Prodobinabar menikah dengan Pangeran Poncowati yang menjadi senopatinya Sunan Kudus.
Tetapi menurut silsilah Sunan Ngampeldento di Surabaya yang sampai ke ibunya Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana II dari buku milik Kantor Tepas Darah Dalem Karaton Yogyakarta.
Susuhunan Kudus menikah tiga kali yaitu dengan:
1. Putri dari Ki Ageng Lepen Padang
2. Putri dari Adipati di Terung,
3. Putri dari Adipati di Kanduruh.
Pernikahan dengan Putri Lepen Padang berputra/putri:
1. Nyahi Hageng Pambayun.
2. Panembahan Kali di Poncowati Demak disebut dengan nama Pangeran Haryo Poncowati setelah menggantikan ayahandanya bernama Panembahan Kudus.
3. Sayid Shaleh (Pangeran Pakahos) yang menurunkan Chatib Banom Kudus dan Sayid Ahmad Baidhawi atau Pangeran Katandur Sumenep.
4. Pangeran Pangeran Gegeneng.
Pernikahan dengan Putri Adipati Terung (Raden Kusen) berputra:
1. Amir Hamzah atau PANGERAN PALEMBANG (Kemas Syahid w. 1550) setelah menggantikan ayah mertua bernama PANEMBAHAN PALEMBANG
Pernikahan dengan Putri Adipati Kanduruh berputrakan:
1. Panembahan Sujak.
2. Ratu Makaya alias Ratu Makasar menikah dengan Pangeran Singobarong.
3. Pangeran Prada Binnabar.
Terlepas dari perbedaan itu ternyata masih banyak keturunan Sunan Kudus yang belum tertulis seperti Sayyidah R. A. Nyai Segati / Pangeran Bayat putri Sunan Kudus yang membuka desa dan menyebarkan Islam di Tegalsari Garung Wonosobo dan lainnya.
Kemudian Sayyidah R. A. Nyai Segati menurunkan Sayyidah R. A. Nyai Bekel Karangkobar yang menurunkan para ulama di Banjarnegara, Wonosobo. Purworejo dan Kebumen. (*)
________________________
Sumber:
- Web nu or id - sejarah Sunan Gisik, Raden Santri.
- Serat Panengen Awit Kangjeng Nabi Adam”, atau "Serat Panengen" milik Kantor Tepas Darah Dalem Karaton Yogyakarta yang telah ditransliterasikan dari tulisan huruf Jawa ke huruf Latin oleh Raden Wedana Laksitowandowo pada 3 September 2005 M, halaman 34-42.