Pada saat dilantik menjadi Sultan Demak ke IV, Raden Mukmin bersumpah, ia akan menjadi Sultan yang lebih besar dari ayahnya Sultan Trenggono, ia ingin seperti Sultan Turki yang kekuasannya membentang luas, dari situlah Raden Mukmin berencana menaklukan seluruh Jawa, Makasar, dan menghancurkan Portugis di Melaka.
Tapi cita-cita yang diucapkannya itu belakangan sulit terwujud sejak pikiran dan batinnya diresapi ajaran tasawuf dan diilhami kesejatian abadi saat menyepi di bukit Prawoto.
Raden Mukmin bukan raja yang tidak faham politik dan perang, bukan pula seorang yang gagap dalam memanajemen kerajaan, sebab dimasa mudanya, Raden Mukmin adalah otak dibalik kejayaan Demak.
Pemikiran dan kecerdasan Raden Mukmin turut memberikan sumbangsih pada ayahnya Sultan Trenggono ketika menaklukan negeri-negeri jauh seperti Banjarmasin, Sundakelapa, Banten, Cirebon, dan lainnya.
Bahkan diangkatnya Sultan Trenggono menjadi Sultan ke tiga Demak pun karena jasa Raden Mukmin, sebab sebagaimana diketahui selepas Sultan Demak II meninggal, Raden Kikin (Pangeran Surowiyoto) yang terlibat perseteruan perebutan tahta dengan Trenggono dibunuh oleh Raden Mukmin.
Pada tahun 1521, Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak ll) meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin, bersaing memperebutkan tahta.
Raden Trenggana adalah adik kandung dari istri Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah; sedangkan Raden Kikin yang lebih tua usianya dari Raden Trenggana lahir dari selir, yaitu putri bupati Jipang.
Raden Mukmin memihak ayahnya dalam persaingan ini. Ia mengirim pembantunya bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang salat Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki Surayata.
Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen, dalam bahasa Jawa artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda ing Lepen meninggalkan dua orang putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.
Dengan terbunuhnya Raden Kikin, putra kedua Raden Patah secara otomatis Raden Trenggono sebagai putra ketiga naik menjadi Sultan Demak lll.
Sepeninggal Raden kikin Arya Penangsang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Jipang. Saat itu usianya masih anak-anak, sehingga pemerintahannya diwakili Patih Matahun yang dibantu oleh senapati Kadipaten Jipang yang terkenal bernama Tohpati.
Raden Trenggana naik takhta Kerajaan Demak sejak tahun 1521. Pemerintahannya berakhir saat ia gugur di Panarukan, Situbondo tahun 1546. Raden Mukmin menggantikan sebagai raja keempat bergelar Sunan Prawoto.
Oleh karena itu, sumpah Raden Mukimin pada saat dilantik menjadi Sultan Demak ke IV bukan sumpah yang tak terukur, tapi sumpah yang sudah benar-benar akan terwujud jika saja Raden Mukmin menjabat sebagai Sultan.
Berhentinya upaya Raden Mukmin untuk dapat menjadikan dirinya sebagai Sultan di Nusantara yang kekuasaannya luas sehingga menyamai Sultan Turki dusebabkan suatu hal yang menyentuh hati sanubarinya.
Dimasa paruh bayanya, Raden Mukmin rupanya banyak membaca ajaran-ajaran agama Islam tentang kasih sayang dan kesejatian abadi, ia mencintai sedikit demi sedikit ajaran cinta kasih dan hakikat hidup selayaknya seorang Sufi.
Merasuknya ajaran itu, sedikit demi sedikit menghilangkan watak dan sikap agresifnya.
Jika dahulu Raden Mukmin dikenal sebagai politikus ulung yang menghalakan segala cara demi kekuasaan, kini ia semacam menjadi seorang yang peka terhadap penderitaan sesama manusia.
Raden Mukmin selepas itu lebih memilih berkelana dari gunung satu ke gunung lainnya untuk melakukan penghayatan pada ajaran agama yang ia pelajari,sehingga akhirnya ia gandrung untuk bertafakur dan menyepi pada satu Gunung kecil yang dikenal dengan nama Prawoto.
Bagi Raden Mukmin Bukit Prawoto adalah tempat damai nan tenang, dari tempat ini ia bisa mengajarkan pengetahuan agamanya kepada sesamanya. Karena terlalu cinta pada tempat tinggal barunya di Bukit Prawoto yang hening dan tenang, Raden Mukmin rupanya membuat kebijakan menggemparkan, sebab ia memindahkan Ibukota kesultanan Demak ke Bukit Prawoto.
Selepas peristiwa itu, Raden Mukmin tidak lagi dikenal sebagai seorang Sultan saja, melainkan juga dikenal sebagai seorang Sunan (Ulama). Itulah sebabnya dalam sejarah disebutkan bahwa nama lain dari Raden Mukmin adalah Sunan Prawoto, sebab Raden Mukmin adalah seorang Raja dan Ulama yang bertahta di Bukit Prawoto.
Sebagaimana selayaknya seorang Sufi sejati, bagi Sunan Prawoto, kematian adalah hal indah yang mestinya ditunggu-tunggu kedatangannya dengan senang hati, sebab itulah dalam kesehariannya, Sunan Prawoto tidak lagi banyak dikrumuni pengawal kerajan meski ia juga seroang Sultan.
Peristiwa inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Arya Penangsang putra Raden Kikin yang dahulu dibunuh oleh Sunan Prawoto ketika ia masih muda. Raden Mukmin alias Sunan Prawoto wafat dalam tempat tidurnya karena dibunuh oleh Rungkud, Suruhan Arya Penangsang.
Pembunuhan itu dikisahkan dapat dilakukan dengan mudah sebab Sultan Demak ke IV itu hampir tanpa pengawalan dan penjagaan. Sebelum Rrangkud membunuh Sunan Prawoto, Sunan Prawoto mengakui atas kesalahan yang ia lakukan kepada Raden Kikin dan rela dihukum mati asal keluarganya diampuni.
Sepeninggal Sunan Prawoto, Arya Penangsang lalu menjadi Sultan Demak ke 5 atau Penguasa dan memindahkan pusat Pemerintahan nya ke Jipang, sehingga pada masa itu dikenal dengan sebutan Demak jipang.
Salah satu sumber yang menceritakan dengan cukup detail keberadaan Istana Prawoto adalah Serat Centhini. Naskah yang ditulis pada tahun 1814 Masehi ini mengisahkan pengembaraan seorang spiritualis bernama Jayengresmi (Syeh Amongraga) dengan ditemani dua murid (santri) setianya, Gathak dan Gathuk.
Tokoh bernama Jayengresmi tidak lain adalah putra dari Sunan Giri Parapen, cucu dari Sunan Giri Kedaton, buyut dari Sunan Giri sepuh (Prabu Setmata), dan canggah dari Maulana Ishak.
Raden Jayengresmi melakukan perjalanan spiritual, mendatangi tempat-tempat keramat, menemui para bijak bestari, para resi, dan para sepuh-waskita di tanah Jawa.
Dikisahkan ketika sampai di Prawoto Jayengresmi melihat istana Prawoto masih berdiri kokoh, lengkap dengan sarana bangunan pendukung lainnya. Jayengresmi mengetahui seluk-beluk bekas tempat terpenting pada masa kesultanan Demak itu setelah bertemu dan mendapat penjelasan Ki Darmajati.
Sebagai seorang yang dituakan di Prawoto kala itu, Darmajati bertugas menjaga daerah Prawoto dan semua peninggalan penting di dalamnya. Kiai Darmajati Menerangkan Detail Istana Prawoto.
"Syah dan begitu memasuki wilayah Prawoto Jayengresmi kagum melihat bangunan megah. Dari kejauhan, bangunan yang menyerupai rumah besar itu sudah bisa dilihat. Di sendang Beji (mata air; sungai) Jayengresmi bertemu dengan seorang tua, tokoh di daerah setempat.
Setelah berkenalan, Jayengresmi menjadi tahu bahwa orang di depannya adalah Darmajati, Kiai Lurah Prawoto."
Serat Centhini mengisahkan:
"Kendel dennira umatur, praptane Ki Darmajati, nyaketi lenggahnya radian, saha aturira aris, dhuh risang nembe kawuryan, kula angger nilakrami. Pundi pinangka sang bagus, sinten sinambating wangi, rahadyan arum ngandika, kula aran Jayengresmi, santri nagri Surapringga, saking umiyat Marapi. Paman punapi pilingguh, lan sinten ingkang wawangi, Darmajati nama kula, lurahing Prawata ngriki".
Setelah tuan rumah dan tamu saling memperkenalkan diri, Kiai Darmajati mengajak para tamunya mampir ke rumah.
“Bila tidak terburu-buru, mampirlah ke gubukku, Angger,” kata Darmajati mengajak tamunya dengan ramah. Dalam hati Jayengresmi merasa senang karena mendapat tawaran untuk singgah setelah sehari di perjalanan.
Jayengresmi menerima tawaran Darmajati. Setelah berjalan beberapa langkah menuju ke kediaman Darmajati, dia bertanya: “Itukah rumah Paman? Bangunan megah dan besar, ada pintu gerbangnya pula”.
“O, bukan. Itu adalah Istana Prawoto, istana Sultan Kerajaan Demak di masa lalu,” jawab Kiai Darmajati meluruskan ketidak-tahuan tamunya.
Rupanya awalnya Jayengresmi mengira, kediaman seorang lurah di Prawoto begitu mewah dan megah. Sampai-sampai terdapat pintu gerbang besar yang terbuat dari batu putih.
Sesampainya di depan bangunan megah yang lebih tepat disebut sebagai istana, Darmajati kemudian menceritakan dengan detail nama dan kegunaan yang sebenarnya dari peninggalan itu.
Lebih detail Serat Centhini menceritakan:
"Lah punika wujuding kang puri, ing Demak sang katong, dados kalih jêng sultan kithane, bilih rendheng linggar dhateng ngriki, wit Demak nagari, kaleban we jawuh. Yen katiga wangsul mring nagari, nunten kang ngadhaton, Susuhunan Prawata namine, akatelah tumekeng samangkin, karane kang ardi, Prawata puniku".
Penggalan berita dalam Serat Centhini di atas menggambarkan keberadaan istana Prawoto, yaitu istana sultan Demak di Prawoto.
Tidak hanya menegaskan adanya bangunan istana. Serat Centhini juga merekam keindahan panorama di sekeliling komplek istana.
Istana Prawoto digambarkan dalam Serat Centhini menghadap ke selat Muria (di sebelah utaranya).
Ketika Jayengresmi berkesempatan mengunjungi istana Prawoto, selat Muria itu telah beralih-rupa menjadi hamparan rawa-rawa seluas samudera. Bila malam purnama tiba, sinar bulan jatuh hingga ke dasar rawa mengenai segala jenis binatang air di dalamnya, menjadikan air rawa yang tenang memancarkan cahaya penuh warna.
Serat Centhini menceritakan:
"Ascaryambeg rahaden ningali, ingkang tembing elor, rawa wiyar ngandhaping pareden, lir samodra sinaba ing peksi, pel-opel lan mliwis, blekok cangak kuntul. Bangothonthong pecuk cabak trinil, rang-urangan abyor, andon mangsan mina myang urange, panjrah kadi sekar tinon asri, wus slesih ningali, rahadyan tumurun".
Sementara di sebelah selatan istana Prawoto barisan pegunungan kapur (kendeng) memanjang ke timur sampai di wilayah Tuban.
Di belakang bangunan istana (di sebelah selatan) terdapat hamparan tanah (semacam alun-alun) dan di sana masih tedapat dua pohon beringin yang berdiri berjajar.
Di sebelah timur laut dari bangunan istana, berjarak sekitar dua ratus lima puluh meter, di sana terdapat mata air alami bernama sendang Beji. Di sebelah barat sendang Beji berjarak tujuh ratusan meter, di sana juga terdapat mata air atau kolam pemandian bernama sendang Geruda atau Garuda.
Diterangkan, bahwa sendang Geruda merupakan tempat pemandian sang sultan Demak, termasuk juga sultan Hadi Mukmin. Ketika istana telah dikosongkan sang empunya, kolam pemandiannya menjadi tempat yang dikeramatkan.
Ketika Jayengresmi dan dua orang santrinya melihat-lihat tempat-tempat penting di sekitar istana Prawoto, kolam pemandian Geruda dihuni hewan bulus yang keramat. Seekor bulus besar menjadi raja bagi bulus-bulus lainnya.
Ukuran kepala raja bulus itu disebutkan sebesar genuk (gentong kecil yang biasanya berfungi untuk menyimpan beras). Itu baru kepalanya, badannya tentu lebih lebar lagi. Selain sendang Beji dan Geruda, Serat Centhini juga menyebut sendang Jibing sebagai tempat pemandian para putri dan kerabat raja.
Diterangkan dalam Serat Centhini:
"Amangilen mring pinggiring rawi, anon sumbêr ayom, binalumbang binatur pinggire, sela pethak kukubuk pasagi, sajroning botrawi, ingkang pojok catur. Pinasangan sela gilang langking, winangun ambanon, boten kaclop we têbah kaote, jroning blumbang bulus ageng alit, samya bêlang putih, ngambang tata turut. Isthanira nambrameng kang prapti, Gathak Gathuk gawok, kathik bulus samono akehe, gedhe cilik padha belang putih, iku kang nglurahi, endhase sak genuk. Darmajati aturira aris, punika sang anom, wasta Grudha tilas siramane, sultan adi ing Demak nagari, sela-gilang langking, palenggahanipun. Miwah saben wedal aneng ngriki, nadyan shalat Lohor, datan benter kayoman eronne, gayam nyamplung karebet waringin, saben (ng)Garakasih, Jumngah malemipun. Kathah ingkang tirakat mariki, dupa sekar konyoh, neng ngandhape kakajengan (ng)gene, mangga radyan mariksa ing beji, wastanipun Jibing, pasiramanipun. Para arum kang samya umiring, ing jeng sang akatong, wus dumugi ing Jibing tepine, gasik resik ayom silir-silir, ri-wusnya udani, Darmajati matur". (Serat Centhini)
Tidak hanya itu, dari atas pepohonan terdengar kicauan burung-burung sehingga seperti alunan musik alam. Perpaduan antara bangunan gedung-gedung megah dengan pernak-pernik alam di sekitar, menjadikan istana Prawoto sebagai tempat tinggal raja yang lebih dari nyaman dan tiada duanya. Pantaslah Sultan memilih tempat itu sebagai tempat tinggal dan pusat pemerintahan (jumeneng nata).
Dari keterangan praragraf di atas bisa dipahami bahwa keraton Demak telah berpindah dua kali sejak dari Demak Bintoro di Glagah Wangi berpindah ke Prawoto daerah Sukolilo Pati kemudian berpindah ke Demak Jipang sebelum akhirnya dipindah dan berganti menjadi Kesultanan Pajang oleh Sultan Hadiwijaya.
Istana Prawoto sendiri adalah benar adanya (fakta). Berita keberadaannya diabadikan dalam babad dan serat, legenda dan dongengnya terus hidup dalam ingatan masyarakat Prawoto, dan bukti faktualnya masih bisa dijumpai sampai hari ini. (*)
_____________
Sejarah pesisiran