Bukan dari Kahyangan tetapi dari Parahyangan. Asal-usul Dewi Nawang Wulan istri Joko Tarub ternyata bukan makhluk bidadari atau peri kahyangan, melainkan perempuan cantik yang berasal dari Tanah Sunda yang dikenal dengan Prahyangan.
Jati diri mengenai siapa Dewi Nawang Wulan dan Joko Tarub diungkap sejarawan asal Malang, Damar Shashangka. Joko Tarub sendiri memiliki nama asli Kidang Telangkas, putra Syekh Maulana Maghribi yang menikah dengan Dewi Retna Dumilah, putri Arya Adikara Adipati Tuban.
Kidang Telangkas dirawat dan dibesarkan istri Ki Arya Penanggungan, seorang bangsawan Pajajaran yang tinggal menetap di pedukuhan Tarub, wilayah Pajang.
Setelah menjadi Akuwu ring Tarub, Arya Penanggungan dikenal dengan nama Ki Ageng Kasihan. Dialah bapak angkat Kidang Telangkas. Ki Ageng Kasihan dan Nyai Ageng Kasihan tidak memiliki anak, sehingga seperti mendapatkan anugerah saat menemukan bayi Kidang Telangkas.
Bayi itu lantas dinamakan Joko Tarub. Kelak ketika kedua bapa dan biyung angkat Joko Tarub yaitu Ki Ageng dan Nyai Ageng Kasihan meninggal dunia, Joko Tarub menggantikannya sebagai Akuwu di pakuwon Tarub dan dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub.
Ki Ageng Tarub menceritakan kepada putrinya, Dewi Nawangsih yang rindu dengan ibunya, Nawang Wulan. Sejak kecil, Dewi Nawangsih sudah tidak mengetahui keberadaan biyungnya itu karena ditinggal pergi lantaran suatu hal.
Kepada Nawangsih, Ki Ageng Tarub menceritakan sejarah sang ibunda tercinta. "Biyungmu masih berdarah Sunda dan Jawa," ungkap Ki Ageng Tarub.
Nawangsih terkejut, karena selama ini kisah yang beredar di tengah masyarakat, ibunya adalah seorang bidadari dari langit. Ki Ageng Tarub lantas menjelaskan asal-usul biyung dari putrinya itu.
Tujuh belas tahun yang lalu sebelum Nawangsih lahir, tujuh wanita cantik bersama beberapa laki-laki dari Prahyangan datang ke Tarub, sebuah pedukuhan terpencil yang berada di kawasan hutan lebat.
Mereka, rombongan datang melalui jalur laut dari Pelabuhan Kalapa (sekarang Jakarta) menuju Pelabuhan Simongan (sekarang Semarang), lalu lewat jalur darat menuju ke daerah Tarub. Mereka memilih tinggal di hutan yang dikenal angker, wingit dan mistis. Lokasinya berada di samping pedukuhan Tarub.
Kedatangan mereka di Tarub tanpa memberikan kabar apapun kepada Nyai Ageng Kasian yang waktu itu mengemban jabatan sebagai Akuwu ring Tarub, sepeninggal suaminya, Ki Ageng Kasihan.
Seiring berjalannya waktu, beberapa warga mengaku sering melihat wanita-wanita cantik yang mandi di sendang hutan sebelah selatan Tarub, hutan yang terkenal sangat angker dan wingit bagi penduduk.
Penduduk menceritakan ada banyak widyadari cantik dari langit yang sedang mandi di tengah telaga hutan yang angker. Karena desas-desus itu, Joko Tarub yang sudah menginjak usia dewasa sekitar 17 hingga 18 tahunan, penasaran dan ingin membuktikan apa yang menjadi desas-desus penduduk.
Pada hari pertama, Joko Tarub tidak menemui apapun. Baru setelah hari kedua, ia terkejut dengan adanya tujuh wanita cantik yang sedang mandi di telaga tengah hutan angker.
Seperti desas-desus yang berkembang di tengah masyarakat, Joko Tarub mengira tujuh perempuan itu memang widyadari kahyangan yang tengah turun ke bumi dan mandi di sendang hutan Tarub. Namun, anggapan itu sirna ketika Joko Tarub juga melihat beberapa orang laki-laki yang sedang memandangi sendang.
Joko Tarub akhirnya menemui laki-laki tersebut dan mengatakan bahwa ia adalah putra dari Akuwu Tarub. Senang ada putra akuwu yang disinggahi, Joko Tarub diajak menuju tempat peristirahatan mereka di sebuah goa tersembunyi yang cukup dalam.
Joko Tarub akhirnya dikenalkan dengan tujuh wanita yang ikut dalam rombongan. Singkat cerita, tujuh dari wanita itu meminta agar Joko Tarub memilih salah satu dari mereka untuk diambil menjadi istri.
Mereka menjelaskan bahwa tujuh wanita itu adalah putri dari tiga orang brahmana yang tinggal di Prahyangan. Ketiga brahmana itu adalah Danghyang Ragasuci, Danghyang Langlangwisesa dan Danghyang Wulungan.
Putri Danghyang Ragasuci bernama Rara Purwaci dan Rara Asri, sedangkan putri Danghyang Langlangwisesa adalah Rara Kancana dan Rara Manik. Sementara putri Danghyang Wulungan adalah Rara Cinde, Rasati dan Rara Sindhang.
Mereka semua mengaku memiliki ibu yang berasal dari Jawa. Dengan demikian, ketujuh perempuan cantik yang awalnya sempat dikira bidadari kahyangan yang turun dari langit ke bumi itu adalah wanita keturunan Sunda dan Jawa.
Mereka datang ke Tanah Jawa atas petunjuk ayah mereka, para brahmana. Menurut petunjuk gaib yang diterima, putri-putri mereka diperintah untuk melakukan pengembaraan ke timur menuju tempat yang disebut "amajang wulan tinaruban", artinya di bawah cahaya bulan dan dinaungi Tarub.
Tarub artinya adalah tempat berteduh dalam sebuah acara pesta. Karena itu, ketika ada pemuda yang mengaku sebagai putra Akuwu Tarub, laki-laki yang mengantarkan tujuh wanita itu sangat gembira. Artinya, pengembaraan mereka berhasil.
Pawisik gaib yang diterima para brahmana itu berasal dari sosok yang mengaku sebagai pamomong Tanah Jawa dan Nusantara. Kini, putri-putri mereka sudah sampai di daerah bernama Tarub dan sebuah kebetulan ada pemuda yang menghampiri mereka.
Sesuai dengan wangsit "amajang wulan tinaruban", maka tujuh wanita cantik tadi meminta pemuda bernama Joko Tarub untuk memilihnya. Rasa penasaran Joko Tarub yang terkejut karena tiba-tiba diminta menikahi salah satu dari mereka, akhirnya terjawab sudah.
Joko Tarub memilih perempuan cantik yang bernama Rara Purwaci, nama asli Dewi Nawang Wulan. Rombongan dari negeri Prahyangan itu akhirnya kembali pulang. Namun, Rara Asri memilih untuk menemani kakaknya, Rara Purwaci.
Desa Tarub pun gempar! Joko Tarub sang putra Nyai Ageng Kasihan yang menjabat sebagai kepala desa Tarub membawa wanita cantik dari hutan belantara. Hutan angker yang sebelumnya tersebar desas-desus dihuni bidadari yang gemar mandi di sendang telaga.
Penduduk pun masih mengira wanita cantik yang dibawa Joko Tarub adalah sosok bidadari dari kahyangan. Sementara Joko Tarub memilih untuk diam dan malah merahasiakan jati diri dan identitas Rara Purwaci.
Kenapa? Sebab putri seorang brahmana yang menikah dengan golongan ksatria, apalagi Joko Tarub yang bukan dari golongan ksatria dan tinggal di kampung terpencil, akan menemui banyak kendala karena aturan dalam Dharmasastra.
Asal-usul Rara Purwaci yang tidak jelas juntrungnya itu, membuat masyarakat Tarub semakin yakin bahwa ia adalah widyadari dari kahyangan. Joko Tarub lantas memberinya nama baru, Nawang Wulan.
"Nawang Wulan artinya adalah menatap rembulan. Sebab biyungmu memang seperti rembulan yang memancarkan sinarnya dengan terang," cerita Ki Ageng Tarub kepada putrinya yang sudah perawan, Nawangsih.
Kelak, Nawangsih diperistri oleh murid Ki Ageng Tarub bernama Raden Bondan Kejawan, pangeran Kerajaan Keling Majapahit. Petunjuk gaib dari para brahmana dari negeri Prahyangan mulai menemui titik temu.
Nawangsih, keturunan dari putri mereka menjadi istri Raden Bondan Kejawan, putra Bhre Kertabhumi. Sesuai pawisik yang diterima para brahmana ayah Nawang Wulan, keturunan mereka akan menurunkan raja-raja besar di Tanah Jawa.
Itu sebabnya, putri-putri mereka dikirim dari Prahyangan ke daerah terpencil bernama Tarub. Semuanya semata-mata demi menjalankan petunjuk gaib yang diterima para brahmana.
Dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dengan Nawangsih, lahir Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pendowo, dan Dewi Roro Kasihan (Nyai Ageng Ngerang).
Dari Ki Ageng Getas Pendawa, lahir Ki Ageng Selo berputra Ki Ageng Henis berputra Ki Ageng Pamanahan berputra Panembahan Senopati, Raja Mataram.
Dari Dewi Roro Kasihan (Nyai Ageng Ngerang) yang menikah dengan Syekh Muhammad Nurul Yaqin (Ki Ageng Ngerang), lahir Sunan Ngerang II berputra Sunan Ngerang III berputra Ki Panjawi, penguasa Kerajaan Pati (Jawa Tengah) berputra Wasis Joyokusumo yang dikenal Adipati Pati.
Adapun Ki Ageng Wanasaba nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah, merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto.
Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki Wanu / Ki Wanusebo.
Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam.
Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran yang menikah dengan Nyai Made Pandan (Cucu Sunan Giri).
Pangeran Made Pandan mempunyai putra 2 orang, yaitu:
1. Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar.
2. Ki Ageng Saba yang menikah dengan Nyai Ageng Saba (kakak kandung Ki Ageng Henis) putri ke 2 dari Ki Ageng Sela dan berputra 2 orang yaitu Ki Juru Martani dan Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng Pamanahan.
Demikianlah sejarah yang mungkin sampai saat ini masih menjadi cerita atau dongeng, semoga dengan ungkapan dan penelusuran sejarah dengan tulisan diatas menjadikan sejarah leluhur kita tidak sebatas dongeng yang tak terarah. Namun memang ada jalur sejarahnya dengan leluhur satu dengan yang lain dan bisa dimengerti. (*)
_______
Jati diri mengenai siapa Dewi Nawang Wulan dan Joko Tarub diungkap sejarawan asal Malang, Damar Shashangka. Joko Tarub sendiri memiliki nama asli Kidang Telangkas, putra Syekh Maulana Maghribi yang menikah dengan Dewi Retna Dumilah, putri Arya Adikara Adipati Tuban.
Kidang Telangkas dirawat dan dibesarkan istri Ki Arya Penanggungan, seorang bangsawan Pajajaran yang tinggal menetap di pedukuhan Tarub, wilayah Pajang.
Setelah menjadi Akuwu ring Tarub, Arya Penanggungan dikenal dengan nama Ki Ageng Kasihan. Dialah bapak angkat Kidang Telangkas. Ki Ageng Kasihan dan Nyai Ageng Kasihan tidak memiliki anak, sehingga seperti mendapatkan anugerah saat menemukan bayi Kidang Telangkas.
Bayi itu lantas dinamakan Joko Tarub. Kelak ketika kedua bapa dan biyung angkat Joko Tarub yaitu Ki Ageng dan Nyai Ageng Kasihan meninggal dunia, Joko Tarub menggantikannya sebagai Akuwu di pakuwon Tarub dan dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub.
Ki Ageng Tarub menceritakan kepada putrinya, Dewi Nawangsih yang rindu dengan ibunya, Nawang Wulan. Sejak kecil, Dewi Nawangsih sudah tidak mengetahui keberadaan biyungnya itu karena ditinggal pergi lantaran suatu hal.
Kepada Nawangsih, Ki Ageng Tarub menceritakan sejarah sang ibunda tercinta. "Biyungmu masih berdarah Sunda dan Jawa," ungkap Ki Ageng Tarub.
Nawangsih terkejut, karena selama ini kisah yang beredar di tengah masyarakat, ibunya adalah seorang bidadari dari langit. Ki Ageng Tarub lantas menjelaskan asal-usul biyung dari putrinya itu.
Tujuh belas tahun yang lalu sebelum Nawangsih lahir, tujuh wanita cantik bersama beberapa laki-laki dari Prahyangan datang ke Tarub, sebuah pedukuhan terpencil yang berada di kawasan hutan lebat.
Mereka, rombongan datang melalui jalur laut dari Pelabuhan Kalapa (sekarang Jakarta) menuju Pelabuhan Simongan (sekarang Semarang), lalu lewat jalur darat menuju ke daerah Tarub. Mereka memilih tinggal di hutan yang dikenal angker, wingit dan mistis. Lokasinya berada di samping pedukuhan Tarub.
Kedatangan mereka di Tarub tanpa memberikan kabar apapun kepada Nyai Ageng Kasian yang waktu itu mengemban jabatan sebagai Akuwu ring Tarub, sepeninggal suaminya, Ki Ageng Kasihan.
Seiring berjalannya waktu, beberapa warga mengaku sering melihat wanita-wanita cantik yang mandi di sendang hutan sebelah selatan Tarub, hutan yang terkenal sangat angker dan wingit bagi penduduk.
Penduduk menceritakan ada banyak widyadari cantik dari langit yang sedang mandi di tengah telaga hutan yang angker. Karena desas-desus itu, Joko Tarub yang sudah menginjak usia dewasa sekitar 17 hingga 18 tahunan, penasaran dan ingin membuktikan apa yang menjadi desas-desus penduduk.
Pada hari pertama, Joko Tarub tidak menemui apapun. Baru setelah hari kedua, ia terkejut dengan adanya tujuh wanita cantik yang sedang mandi di telaga tengah hutan angker.
Seperti desas-desus yang berkembang di tengah masyarakat, Joko Tarub mengira tujuh perempuan itu memang widyadari kahyangan yang tengah turun ke bumi dan mandi di sendang hutan Tarub. Namun, anggapan itu sirna ketika Joko Tarub juga melihat beberapa orang laki-laki yang sedang memandangi sendang.
Joko Tarub akhirnya menemui laki-laki tersebut dan mengatakan bahwa ia adalah putra dari Akuwu Tarub. Senang ada putra akuwu yang disinggahi, Joko Tarub diajak menuju tempat peristirahatan mereka di sebuah goa tersembunyi yang cukup dalam.
Joko Tarub akhirnya dikenalkan dengan tujuh wanita yang ikut dalam rombongan. Singkat cerita, tujuh dari wanita itu meminta agar Joko Tarub memilih salah satu dari mereka untuk diambil menjadi istri.
Mereka menjelaskan bahwa tujuh wanita itu adalah putri dari tiga orang brahmana yang tinggal di Prahyangan. Ketiga brahmana itu adalah Danghyang Ragasuci, Danghyang Langlangwisesa dan Danghyang Wulungan.
Putri Danghyang Ragasuci bernama Rara Purwaci dan Rara Asri, sedangkan putri Danghyang Langlangwisesa adalah Rara Kancana dan Rara Manik. Sementara putri Danghyang Wulungan adalah Rara Cinde, Rasati dan Rara Sindhang.
Mereka semua mengaku memiliki ibu yang berasal dari Jawa. Dengan demikian, ketujuh perempuan cantik yang awalnya sempat dikira bidadari kahyangan yang turun dari langit ke bumi itu adalah wanita keturunan Sunda dan Jawa.
Mereka datang ke Tanah Jawa atas petunjuk ayah mereka, para brahmana. Menurut petunjuk gaib yang diterima, putri-putri mereka diperintah untuk melakukan pengembaraan ke timur menuju tempat yang disebut "amajang wulan tinaruban", artinya di bawah cahaya bulan dan dinaungi Tarub.
Tarub artinya adalah tempat berteduh dalam sebuah acara pesta. Karena itu, ketika ada pemuda yang mengaku sebagai putra Akuwu Tarub, laki-laki yang mengantarkan tujuh wanita itu sangat gembira. Artinya, pengembaraan mereka berhasil.
Pawisik gaib yang diterima para brahmana itu berasal dari sosok yang mengaku sebagai pamomong Tanah Jawa dan Nusantara. Kini, putri-putri mereka sudah sampai di daerah bernama Tarub dan sebuah kebetulan ada pemuda yang menghampiri mereka.
Sesuai dengan wangsit "amajang wulan tinaruban", maka tujuh wanita cantik tadi meminta pemuda bernama Joko Tarub untuk memilihnya. Rasa penasaran Joko Tarub yang terkejut karena tiba-tiba diminta menikahi salah satu dari mereka, akhirnya terjawab sudah.
Joko Tarub memilih perempuan cantik yang bernama Rara Purwaci, nama asli Dewi Nawang Wulan. Rombongan dari negeri Prahyangan itu akhirnya kembali pulang. Namun, Rara Asri memilih untuk menemani kakaknya, Rara Purwaci.
Desa Tarub pun gempar! Joko Tarub sang putra Nyai Ageng Kasihan yang menjabat sebagai kepala desa Tarub membawa wanita cantik dari hutan belantara. Hutan angker yang sebelumnya tersebar desas-desus dihuni bidadari yang gemar mandi di sendang telaga.
Penduduk pun masih mengira wanita cantik yang dibawa Joko Tarub adalah sosok bidadari dari kahyangan. Sementara Joko Tarub memilih untuk diam dan malah merahasiakan jati diri dan identitas Rara Purwaci.
Kenapa? Sebab putri seorang brahmana yang menikah dengan golongan ksatria, apalagi Joko Tarub yang bukan dari golongan ksatria dan tinggal di kampung terpencil, akan menemui banyak kendala karena aturan dalam Dharmasastra.
Asal-usul Rara Purwaci yang tidak jelas juntrungnya itu, membuat masyarakat Tarub semakin yakin bahwa ia adalah widyadari dari kahyangan. Joko Tarub lantas memberinya nama baru, Nawang Wulan.
"Nawang Wulan artinya adalah menatap rembulan. Sebab biyungmu memang seperti rembulan yang memancarkan sinarnya dengan terang," cerita Ki Ageng Tarub kepada putrinya yang sudah perawan, Nawangsih.
Kelak, Nawangsih diperistri oleh murid Ki Ageng Tarub bernama Raden Bondan Kejawan, pangeran Kerajaan Keling Majapahit. Petunjuk gaib dari para brahmana dari negeri Prahyangan mulai menemui titik temu.
Nawangsih, keturunan dari putri mereka menjadi istri Raden Bondan Kejawan, putra Bhre Kertabhumi. Sesuai pawisik yang diterima para brahmana ayah Nawang Wulan, keturunan mereka akan menurunkan raja-raja besar di Tanah Jawa.
Itu sebabnya, putri-putri mereka dikirim dari Prahyangan ke daerah terpencil bernama Tarub. Semuanya semata-mata demi menjalankan petunjuk gaib yang diterima para brahmana.
Dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dengan Nawangsih, lahir Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pendowo, dan Dewi Roro Kasihan (Nyai Ageng Ngerang).
Dari Ki Ageng Getas Pendawa, lahir Ki Ageng Selo berputra Ki Ageng Henis berputra Ki Ageng Pamanahan berputra Panembahan Senopati, Raja Mataram.
Dari Dewi Roro Kasihan (Nyai Ageng Ngerang) yang menikah dengan Syekh Muhammad Nurul Yaqin (Ki Ageng Ngerang), lahir Sunan Ngerang II berputra Sunan Ngerang III berputra Ki Panjawi, penguasa Kerajaan Pati (Jawa Tengah) berputra Wasis Joyokusumo yang dikenal Adipati Pati.
Adapun Ki Ageng Wanasaba nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah, merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto.
Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki Wanu / Ki Wanusebo.
Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam.
Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran yang menikah dengan Nyai Made Pandan (Cucu Sunan Giri).
Pangeran Made Pandan mempunyai putra 2 orang, yaitu:
1. Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar.
2. Ki Ageng Saba yang menikah dengan Nyai Ageng Saba (kakak kandung Ki Ageng Henis) putri ke 2 dari Ki Ageng Sela dan berputra 2 orang yaitu Ki Juru Martani dan Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng Pamanahan.
Demikianlah sejarah yang mungkin sampai saat ini masih menjadi cerita atau dongeng, semoga dengan ungkapan dan penelusuran sejarah dengan tulisan diatas menjadikan sejarah leluhur kita tidak sebatas dongeng yang tak terarah. Namun memang ada jalur sejarahnya dengan leluhur satu dengan yang lain dan bisa dimengerti. (*)
_______