"Candi Dadi" Yang Unik dan Indah
0 menit baca
Candi Dadi yang terletak di Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur ini memiliki keunikan tersendiri.
Merupakan Candi Tunggal yang berada di puncak bukit pada ketinggian 360 meter di atas permukaan laut dan berada di tengah areal kehutanan RPH Kalidawir.
Untuk berkunjung ke candi dadi siapkan fisik karena karena kita akan jalan kaki menelusuri jalan setapak di perbukitan yang berjarak kurang lebih 2 km dan yang belum terbiasa mendaki siap2 menggeh menggeh, Sebenarnya Candi Dadi merupakan bagian dari kompleks percandian, karena Desa Wajak Kidul bagian selatan merupakan perbukitan.
Pada empat puncak perbukitan tersebut masing-masing terdapat satu buah candi dan Candi Dadi ada pada puncak tertinggi.
Candi Dadi merupakan candi tunggal yang tidak memiliki hiasan dan arca. Denah Candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14 meter, lebar 14 meter, dan tinggai 6,5 meter. Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi.
Berbatur tinggi dan berpenampilan setiap sisinya.
Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan. Pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungsi sebagai sumur. Diameter sumur adalah 3,35 meter dengan kedalaman 3 meter.
Uniknya, sumuran itu ketika hujan turun sederas apa pun, di dalam sumuran tidak pernah menggenang air.
Air yang turun langsung meresap ke dalam. Sejak awal berdiri belum pernah mengalami pemugaran, jadi Candi Dadi ini masih sama dengan zaman dulu.
Penelitian terhadap Candi Dadi pernah dilakukan oleh beberapa ahli purbakala, yaitu PJ Veth (1878), Hoepermans (1913), NJ Krom (1915 dan 1923), Haase (1901).
Dalam laporan Belanda pada abad ke-19, disebutkan adanya kelompok bangunan candi (jumlahnya lima) di lereng utama pegunungan Wajak atau juga disebut pegunungan Walikukun di Tulungagung.
Letaknya yang berada di puncak bukit dihubungkan dengan anggapan masyarakat Indonesia kuna bahwa puncak gunung adalah tempat tinggal para dewa. Anggapan ini merupakan sebuah tradisi yang berlangsung sejak zaman prasejarah yang percaya bahwa arwah para leluhur berada di puncak gunung.
Berkenaan dengan paham tersebut, lingkungan alam di sekitar Candi Dadi memang sangat mendukung.
Candi Dadi yang berada di puncak bukit dan langsung menghadap lembah Boyolangu di sebelah utaranya.
Selain sebagai tempat pemujaan, dapat diduga Candi Dadi dahulu berfungsi juga sebagai tempat pengabuan, pembakaran jenazah tokoh atau penguasa saat itu.
Sifat keagamaan yang melatarbelakangi pendiriannya secara tepat belum diketahui.
Hal tersebut disebabkan tidak ditemukannya data yang mampu menunjang upaya pengenalannya secara langsung.
Namun, sumuran yang terdapat di bagian tengah bangunan candi tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk dari karakter sebuah percandian berlatar belakang keagamaan Hindu.
Diperkirakan Candi Dadi merupakan peninggalan sejarah pada masa kerajaan Majapahit sekitar akhir abad XIV hingga akhir abad XV.(*)