Ketika Panembahan Senopati wafat pada hari Jum'at Pon 30 Juli 1601 bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari, jasad beliau dimakamkan di pemakaman Kotagede disamping ayahanda Ki Ageng Pamanahan (Ki Gede Mataram). Sebagai penggantinya ditunjuk Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati, putra keempat Panembahan Senopati dengan Ratu Mas Waskita, putri Sulung Ki Ageng Penjawi, penguasa Pati.
Pada awal pemerintahannya (1602), sang kakak Raden Mas Kentol Kejuron atau Pangeran Puger putra Panembahan Senopati dengan Rara Semangkin atau Nyai Adisara, putri Raden Bagus Mukmin memisahkan diri dari Kotagede karena merasa lebih berhak atas tahta daripada adiknya Mas Jolang karena ia adalah putra laki-laki tertua Panembahan Senopati kala itu karena kakaknya Raden Rangga wafat di usia muda.
Setelah pemberontakan Pangeran Puger yang didukung oleh Adipati Gending dan Adipati Panjer oleh dapat diatasi dengan mengirim Tumenggung Suranata ( Ki Gede Mestaka) pada 1605, muncul gejala-gehala baru, beberapa kadipaten ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, diantaranya Kadipaten Ponorogo yang dipimpin oleh Tumenggung Rangga Wicitra.
Untuk mengamankan daerah bang wetan serta mengawasi pergerakan Adipati Ponorogo, maka diutuslah Mas Barthotot atau Pangeran Jayaraga putra Panembahan Senopati dengan selir dari Kajoran. Pangeran Jayaraga membuka Kadipaten baru di selatan Ponorogo yaitu Kadipaten Gadingrejo. Lama kelamaan Kadipaten ini semakin berkembang dengan hasil bumi yang melimpah.
Bersama berjalannya waktu, Pangeran Jayaraga pun melatih para pemuda dan pamong praja Gadingrejo dengan ilmu ketangkasan dan keprajuritan. Pangeran Jayaraga kemudian kemudian mengangkat dirinya dan bergelar Pangeran Joyonegoro yang didukung oleh para penguasa dari bang wetan yaitu Pangeran Rangga, Panji Wirabumi, Ngabehi Malang serta Demang Nayahita.
Perkembangan Kadipaten Gadingrejo dan munculnya gejala akan melepaskan diri Pangeran Joyonegoro dari kekuasaan Mataram kemudian diketahui dan dilaporkan oleh Adipati Ponorogo Tumenggung Rangga Wicitra kepada penguasa Mataram Panembahan Hanyakrawati di Kotagede.
Panembahan Hanyakrawati pun segera merespins dengan mengirim Pangeran Pringgalaya, putra Panembahan Senopati dengan Retna Dumilah, putri Adipati Madiun Rangga Jumena didampingi Tumenggung Mertalaya. Keduanya bergabung dengan Adipati Ponorogo Tumenggung Rangga Wicitra bergerak ke Kadipaten Gadingrejo, selatan Ponorogo.
Setelah berhasil mengatasi perlawanan Pangeran Joyonegoro, Pangeran Pringgalaya menasehati kakaknya bahwa tindakannya keliru. Pangeran Joyonegoro kemudian di asingkan ke sebuah gunung batu berbentuk masjid yang disebut gunung Loreng. Tempat diasingkannya Pangeran Joyonegoro sekarang bernama Slahung yang berasal dari Selong atau pengasingan. Adapun Kadipaten Gadingrejo pada 1611 disowak atau ditiadakan.
Pangeran Joyonegoro dan keluarganya menetap di daerah gunung batu tersebut sampai akhir hayatnya pada Ahad Pon bulan Syawal tahun Waw 1777 M. Makamnya berada di sebuah bukit di kaki gunung Loreng yang disebut bukit Tumpak Swangon. Salah satu putra beliau adalah Raden Buntoro atau dikenal sebagai Ki Dugel Kesambi atau Kyai Kasan Buntoro yang kemudian berputra Kyai Nursalim.
Salah satu putri Kyai Nursalim jelak diperistri oleh pendiri Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari yaitu Ki Ageng Muhammad Besari. Dari keduanya kelak menurunkan bupati Ponorogo yaitu KRMT. Adipati Cokronegoro yang berputra RM. Cokroamiseno dan berputra HOS. Cokroaminoto, guru dan ayah mertua Sukarno (putra Susuhunan Pakubuwono X yang diasuh oleh RM Panji Soemosewojo di Ndalem Pojok Kediri).
Adapun Pangeran Pringgalaya, adik Pangeran Jayaraga kemudian menetap di Ponorogo barat di daerah Semanding, Kauman, Somoroto. Pangeran Pringgalaya berputra Raden Mertasana yang menetap di daerah Tosanan dan Raden Prawiratuna yang menetap di Tegalombo, keduanya sekarang berada di kecamatan Kauman Ponorogo.(*)
Sumber : Babad Ponorogo
■ Sumber : Babad Ponorogo.