Thomas Stamford Raffles adalah gubernur Letnan ‘sisipan’ Inggris yang sempat mengunjungi sejumlah reruntuhan bangunan era Hindu-Buddha pada masa pemerintahannya yang pendek antara tahun 1811-1816.
Lepas dari sepak terjangnya yang kontroversial, sedikit banyak ia memiliki jasa mengangkat Jawa secara komprehensif ke dalam lingkup pengetahuan dunia. Apalagi kalau bukan melalui mahakaryanya yang berjudul “The History of Java”.
Tanpa mengenal lelah, bersama asistennya ia mengumpulkan informasi tentang flora dan fauna, bahasa, kesenian, kepercayaan, dan terutama kesejarahan pulau tersebut.
Raffles menemukan bukti bahwa orang Jawa jaman kuno memiliki peradaban yang sangat tinggi yang pada masa-masa selanjutnya tampaknya makin menurun.
Berikut adalah catatan perjalanannya saat mengunjungi reruntuhan Singa Sari dan lain-lain di Distrik Malang.
Pertama-tama kami melanjutkan perjalanan dari Pasuruan menuju Lawang, menunggangi kuda-kuda kami di dekat reruntuhan benteng yang untuk beberapa waktu bertahan menghadapi serangan Belanda ketika mereka pertama kali berusaha menguasai distrik-distrik ini.
Agak jauh dari situ, di antara Lawang dan Malang, kami ditunjukkan tempat pertempuran yang terkenal itu berlangsung.
Keluarga bupati yang berkuasa saat ini ditunjuk pertama kali karena sumbangsih yang mereka berikan dalam peperangan tersebut.
Jalan raya dari Pasuruan ke Lawang sebagian besar melalui daerah hutan yang menurut pengamatan kami didominasi oleh pohon beringin.
Keesokan harinya kami mengunjungi reruntuhan Singa Sari, terletak hanya beberapa langkah saja dari pintu masuk hutan jati yang berada sekitar 4 mil dari Lawang dan berada di sebelah kanan jalan yang menuju Malang.
Objek pertama yang menarik perhatian kami adalah reruntuhan sebuah candi. Candi tersebut merupakan bangunan berbentuk kotak, dengan sebuah pintu masuk di bagian baratnya: tinggi bangunan tersebut saat ini mungkin sekitar 30 kaki.
Di atas pintu masuk terdapat sebuah kepala besar berwajah buruk dan tampaknya sebuah hiasan serupa juga terdapat di setiap sisi bangunan tersebut, tepat di atas ceruk-ceruk yang masih selaras dengan pintu masuk di bagian barat.
Pada salah satu ceruk tersebut kami melihat sebuah patung yang terbaring rata dengan tanah serta tidak berkepala. Pada ceruk lain dimana terdapat sebuah lapik kosong, menurut informasi yang kami dapat, Mr. Engelhard telah membawa pergi patung yang ada di ceruk itu.
Di tempat seharusnya ceruk ketiga berada, batu-batunya telah dibongkar dan adanya sebuah lubang galian dalam di sana tidak hanya memperburuk penampilan bangunan itu, tetapi juga membuat kerusakan parah pada sisi bangunan. Kerusakan ini juga diakibatkan oleh ulah kakitangan Mr. Engelhard.
Mr Engelhard adalah mantan gubernur Semarang yang mengumpulkan beberapa benda yang sangat indah yang terbuat dari batu di dalam taman di belakang kediamannya.
Benda-benda tersebut diambil dari berbagai penjuru daerah yang berbeda.
Begitu masuk candi, dimana kami harus menapaki undakan batu yang tampakknya dulu digunakan sebagai anak tangga, kami melihat ada sebuah lubang galian dalam dan sebuah batu persegi besar yang kelihatannya tercabut dan tergeletak pada satu sisi di tanah.
Kami memerintahkan agar lubang itu diisi kembali dan batu itu dikembalikan ketempatnya semula. Ada sebuah lubang berbentuk lingkaran yang menembus tepat di tengah-tengah batu tersebut. Apakah ini berarti batu itu dulu digunakan sebagi altar, sebagai lapik untuk sebuah patung atau sebuah yoni [bentukan menyerupai vagina], kami sendiri tidak tahu pasti.
Di daerah yang tidak ada bangunannya, pada bagian reruntuhan yang dulu tampaknya merupakan sebuah teras bawah, kami melihat dua buah patung penjaga, dengan gada di tangan mereka yang disandarkan di bahu. Wajah mereka banar-benar sudah rusak dan bentuk mereka sangat kasar.
Kami dapat dengan mudah menemukan kesamaan mereka dengan patung-patung penjaga di di Brambanan. Akan tetapi, tinggi patung-patung ini tidak lebih dari 3 kaki.
Peralatan, hiasan dan gaya candi ini secara umum tidak terlalu berbeda dengan candi-candi megah di Brambanan: ukiran dinding dan cetakan bantuannya tidak kalah kaya dan dibuat sama halusnya dengan yang di Brambanan.
Bentuk luar bangunan boleh berbeda, tetapi ceruk, atau ruangan dalam, tampaknya memiliki pedoman yang sama. Tidak ada lubang agar cahaya bisa masuk dari atas.
Melanjutkan perjalanan singkat lebih jauh ke dalam hutan, kami menemukan beberapa patung tokoh mitologi Hindu dalam kondisi yang masih sangat masih baik dan dibuat dengan sangat teliti lebih dari apa pun yang pernah kami lihat perlindungan dari cuaca, terdapat Nandi si banteng dalam keadaan yang masih cukup baik, keculai untuk tanduknya yang tergeletak di samping patung itu. Patung ini memiliki panjang lebih dari 5,5 kaki, dalam kondisi baik dan dibuat dengan keahlian tinggi juga proporsi yang sempurna.
Dekat dengan patung banteng itu dan tidak jauh dari sebuah pohon, terdapat sebuah patung Brahma yang sangat indah. Keempat kepala masih dalam keadaan sempurna, kecuali pada satu kepala yang kehilangan hidungnya. Patung ini memiliki ornamen sangat banyak dan mengenakan pakaian yang lebih meriah dari biasanya.
Pada jarak yang agak jauh sekitar 1000 yard dari lokasi ini, kami menemukan sebuah patung Ganesa yang luar biasa dalam ukuran raksasa, dibuat dengan sangat teliti dan dalam kondisi sangat baik.
Lampik tempatnya berada dikeliling oleh tengkorak manusia dan tampaknya tengkorak-tengkorak ini tidak hanya digunakan sebagai anting-anting, tetapi juga digunakan untuk menghias semua bagian yang bisa mereka hias. Kepala dan belalai patung ini sangat mirip dengan kepala dan belalai gajah asli.
Patung itu kelihatannya didirikan di atas sebuah panggung yang terbuat dari batu. Dari beberapa batu yang berserakan di sekitarnya bisa saja dulu patung ini ditempatkan di dalam sebuah ceruk atau candi.
Lebih masuk ke dalam hutan, tidak jauh dari sana, kami menemukan sebuah patung raksasa lain. Patung ini memiliki tanda yang sama dengan patung penjaga yang ada di Brambanan. Patung ini jatuh telungkup pada pintu masuk keras batu yang ditinggikan.
Namun, orang-orang telah menggali dan menyingkirkan tanah di sekeliling patung tersebut sehingga kami bisa memeriksa wajah dan bagian depan patung ini dengan lebih jelas.
Patung ini memiliki panjang 12 kaki dan lebar bahu 9,5 kaki dengan dasar sepanjang 9 dn 5 kaki serta dipahat dari satu batu utuh besar.
Patung ini dibuat seakan-akan sedang duduk bersimpuh, dengan kedua telapak tangan memegang lututnya, tetapi patung ini tidak memiliki gada meskipun bisa jadi gada itu dicuri. Ekspresi mukanya sangat jelas dan hidungnya pun mancung. Namun, fitur ini, begitu juga mulut dan dagunya telah rusak akibat ulah orang.
Patung ini tampaknya jatuh dari teras tinggi yang tidak jauh dari situ. Teras yang rusak dan cuma menyisakan reruntuhan batu ini tingginya kira-kira 18 kaki, dimana bagian atas teras terdiri atas lempeng batuan besar berukuran panjang 5 kaki dengan lebar 4 kaki serta tebal 3 kaki.
Tidak lama kemudian kami menemukan patung kedua dengan ukuran sama tidak jauh dari situ; tidak diragukan lagi bahwa patung-patung ini adalah penjaga pintu masuk candi-candi ini.
Setelah mengunjungi semua yang bisa diselidiki di sekitar Singa Sari, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Malang.(*)
Sumber : kekunoan
Lepas dari sepak terjangnya yang kontroversial, sedikit banyak ia memiliki jasa mengangkat Jawa secara komprehensif ke dalam lingkup pengetahuan dunia. Apalagi kalau bukan melalui mahakaryanya yang berjudul “The History of Java”.
Tanpa mengenal lelah, bersama asistennya ia mengumpulkan informasi tentang flora dan fauna, bahasa, kesenian, kepercayaan, dan terutama kesejarahan pulau tersebut.
Raffles menemukan bukti bahwa orang Jawa jaman kuno memiliki peradaban yang sangat tinggi yang pada masa-masa selanjutnya tampaknya makin menurun.
Berikut adalah catatan perjalanannya saat mengunjungi reruntuhan Singa Sari dan lain-lain di Distrik Malang.
Pertama-tama kami melanjutkan perjalanan dari Pasuruan menuju Lawang, menunggangi kuda-kuda kami di dekat reruntuhan benteng yang untuk beberapa waktu bertahan menghadapi serangan Belanda ketika mereka pertama kali berusaha menguasai distrik-distrik ini.
Agak jauh dari situ, di antara Lawang dan Malang, kami ditunjukkan tempat pertempuran yang terkenal itu berlangsung.
Keluarga bupati yang berkuasa saat ini ditunjuk pertama kali karena sumbangsih yang mereka berikan dalam peperangan tersebut.
Jalan raya dari Pasuruan ke Lawang sebagian besar melalui daerah hutan yang menurut pengamatan kami didominasi oleh pohon beringin.
Keesokan harinya kami mengunjungi reruntuhan Singa Sari, terletak hanya beberapa langkah saja dari pintu masuk hutan jati yang berada sekitar 4 mil dari Lawang dan berada di sebelah kanan jalan yang menuju Malang.
Objek pertama yang menarik perhatian kami adalah reruntuhan sebuah candi. Candi tersebut merupakan bangunan berbentuk kotak, dengan sebuah pintu masuk di bagian baratnya: tinggi bangunan tersebut saat ini mungkin sekitar 30 kaki.
Di atas pintu masuk terdapat sebuah kepala besar berwajah buruk dan tampaknya sebuah hiasan serupa juga terdapat di setiap sisi bangunan tersebut, tepat di atas ceruk-ceruk yang masih selaras dengan pintu masuk di bagian barat.
Pada salah satu ceruk tersebut kami melihat sebuah patung yang terbaring rata dengan tanah serta tidak berkepala. Pada ceruk lain dimana terdapat sebuah lapik kosong, menurut informasi yang kami dapat, Mr. Engelhard telah membawa pergi patung yang ada di ceruk itu.
Di tempat seharusnya ceruk ketiga berada, batu-batunya telah dibongkar dan adanya sebuah lubang galian dalam di sana tidak hanya memperburuk penampilan bangunan itu, tetapi juga membuat kerusakan parah pada sisi bangunan. Kerusakan ini juga diakibatkan oleh ulah kakitangan Mr. Engelhard.
Mr Engelhard adalah mantan gubernur Semarang yang mengumpulkan beberapa benda yang sangat indah yang terbuat dari batu di dalam taman di belakang kediamannya.
Benda-benda tersebut diambil dari berbagai penjuru daerah yang berbeda.
Begitu masuk candi, dimana kami harus menapaki undakan batu yang tampakknya dulu digunakan sebagai anak tangga, kami melihat ada sebuah lubang galian dalam dan sebuah batu persegi besar yang kelihatannya tercabut dan tergeletak pada satu sisi di tanah.
Kami memerintahkan agar lubang itu diisi kembali dan batu itu dikembalikan ketempatnya semula. Ada sebuah lubang berbentuk lingkaran yang menembus tepat di tengah-tengah batu tersebut. Apakah ini berarti batu itu dulu digunakan sebagi altar, sebagai lapik untuk sebuah patung atau sebuah yoni [bentukan menyerupai vagina], kami sendiri tidak tahu pasti.
Di daerah yang tidak ada bangunannya, pada bagian reruntuhan yang dulu tampaknya merupakan sebuah teras bawah, kami melihat dua buah patung penjaga, dengan gada di tangan mereka yang disandarkan di bahu. Wajah mereka banar-benar sudah rusak dan bentuk mereka sangat kasar.
Kami dapat dengan mudah menemukan kesamaan mereka dengan patung-patung penjaga di di Brambanan. Akan tetapi, tinggi patung-patung ini tidak lebih dari 3 kaki.
Peralatan, hiasan dan gaya candi ini secara umum tidak terlalu berbeda dengan candi-candi megah di Brambanan: ukiran dinding dan cetakan bantuannya tidak kalah kaya dan dibuat sama halusnya dengan yang di Brambanan.
Bentuk luar bangunan boleh berbeda, tetapi ceruk, atau ruangan dalam, tampaknya memiliki pedoman yang sama. Tidak ada lubang agar cahaya bisa masuk dari atas.
Melanjutkan perjalanan singkat lebih jauh ke dalam hutan, kami menemukan beberapa patung tokoh mitologi Hindu dalam kondisi yang masih sangat masih baik dan dibuat dengan sangat teliti lebih dari apa pun yang pernah kami lihat perlindungan dari cuaca, terdapat Nandi si banteng dalam keadaan yang masih cukup baik, keculai untuk tanduknya yang tergeletak di samping patung itu. Patung ini memiliki panjang lebih dari 5,5 kaki, dalam kondisi baik dan dibuat dengan keahlian tinggi juga proporsi yang sempurna.
Dekat dengan patung banteng itu dan tidak jauh dari sebuah pohon, terdapat sebuah patung Brahma yang sangat indah. Keempat kepala masih dalam keadaan sempurna, kecuali pada satu kepala yang kehilangan hidungnya. Patung ini memiliki ornamen sangat banyak dan mengenakan pakaian yang lebih meriah dari biasanya.
Pada jarak yang agak jauh sekitar 1000 yard dari lokasi ini, kami menemukan sebuah patung Ganesa yang luar biasa dalam ukuran raksasa, dibuat dengan sangat teliti dan dalam kondisi sangat baik.
Lampik tempatnya berada dikeliling oleh tengkorak manusia dan tampaknya tengkorak-tengkorak ini tidak hanya digunakan sebagai anting-anting, tetapi juga digunakan untuk menghias semua bagian yang bisa mereka hias. Kepala dan belalai patung ini sangat mirip dengan kepala dan belalai gajah asli.
Patung itu kelihatannya didirikan di atas sebuah panggung yang terbuat dari batu. Dari beberapa batu yang berserakan di sekitarnya bisa saja dulu patung ini ditempatkan di dalam sebuah ceruk atau candi.
Lebih masuk ke dalam hutan, tidak jauh dari sana, kami menemukan sebuah patung raksasa lain. Patung ini memiliki tanda yang sama dengan patung penjaga yang ada di Brambanan. Patung ini jatuh telungkup pada pintu masuk keras batu yang ditinggikan.
Namun, orang-orang telah menggali dan menyingkirkan tanah di sekeliling patung tersebut sehingga kami bisa memeriksa wajah dan bagian depan patung ini dengan lebih jelas.
Patung ini memiliki panjang 12 kaki dan lebar bahu 9,5 kaki dengan dasar sepanjang 9 dn 5 kaki serta dipahat dari satu batu utuh besar.
Patung ini dibuat seakan-akan sedang duduk bersimpuh, dengan kedua telapak tangan memegang lututnya, tetapi patung ini tidak memiliki gada meskipun bisa jadi gada itu dicuri. Ekspresi mukanya sangat jelas dan hidungnya pun mancung. Namun, fitur ini, begitu juga mulut dan dagunya telah rusak akibat ulah orang.
Patung ini tampaknya jatuh dari teras tinggi yang tidak jauh dari situ. Teras yang rusak dan cuma menyisakan reruntuhan batu ini tingginya kira-kira 18 kaki, dimana bagian atas teras terdiri atas lempeng batuan besar berukuran panjang 5 kaki dengan lebar 4 kaki serta tebal 3 kaki.
Tidak lama kemudian kami menemukan patung kedua dengan ukuran sama tidak jauh dari situ; tidak diragukan lagi bahwa patung-patung ini adalah penjaga pintu masuk candi-candi ini.
Setelah mengunjungi semua yang bisa diselidiki di sekitar Singa Sari, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju Malang.(*)
Sumber : kekunoan